Sekian lama ibu saya memaksa untuk melewati jalan pintas bila ingin pergi ke rumah nenek. Sekian kali pula saya menolak permintaan (perintah) ibu. Ada alasan tentunya. Pertama, jalan pintas itu mengerikan, jalanannya tidak bagus. Hanhya dilapisi kerikil-kerikil dan batu-batu. Motor saya yang tidak bisa dibilang baru lagi tidak akan menyamankan saya sewaktu melewatinya. Setiap akan menyebrang saya selalu berpikir bagaimana kalau jatuh nanti. Selalu pikiran itu yang melintas kepala saya.
Kedua, bila saya melewati jalan itu berarti melanggar peraturan. Sebenarnya jalan pintas itu bersisian dengan jalur kereta api. Bila melewati jalur itu saya pastinya menghemat waktu perjalanan dan bahan bakar. Tetapi, saya harus menentang tiga arus jalan, kebetulan jalan tersebut berada di sekitar jalur lingkar luar. Yah,,,pokoknya akan sangat melanggar perturan bila melewati jalan tersebut.
Ketiga, seperti yang telah saya sebutkan di atas, jalan tersebut tepat berada di samping rel kereta api. Coba bayangkan bagaimana kalau saat saya melintas ternyata dari arah belakang atau depan tiba-tiba muncul kereta api. Panik. Ingin tancap gas untuk sampai ke jalan yang layak tentu saya tidak berani, karena alasan pertama di atas. Wah,,,menakutkanlah pokoknya.
Namun, entah hastan dari mana, hingga akhirnya keamrin saya memberanikan melintas daerah terlarang itu. Urgh,,,,memang menakutkan saat melewatinya. Semua bayangan saya mengenai perlintasan itu benar-benar terjadi. Motor saya tiba-tiba berubah tidaj nyaman untuk dikendarai. Kerikil-kerikil dan batu-batu membuat ban motor tidak mantap menjejak tanah. Saat berjalan pun debu-debu beterbangan. Ahhh,,,gila.
Kemuadian saya berhasil menyebrangi satu ruas jalan. Fiuh,,,, aman. Tidak ada kendala berarti. Namun, ketikan saya hendak menuju ke ruas jalan kedua, penanda kereta akan melintas berbunyi. Woaa,,,di belakang saya kereta berjalan dengan cepatnya. Klaksonnya dibunyikan sekeras-kerasnya. Otak saya sontak menyuruh kaki kanan untuk mengerem dan kemudian diikuti kaki kiri yang bergerak menurunkan gigi. Pilihan terbaik saat itu adalah berhenti, jarak saya dengan rel kereta api hanya sekitar 2 meter, dengan resiko terkena hembusan angin ketika kereta melintas. Kereta melaju, meninggalkan saya. Sekali lagi aman. Saya tidak jatuh di atas kerikil dan kedua saya tidak terserempet kereta yang lewat.
Sayangnya, perjuangan itu belum bisa dikatakan usai. Sebuah jalur jalan menunggu untuk saya sebarangi. Arus jalan cukup padat waktu itu, namun saya melihat ada peluang untuk melintas. Maka saya tarik gas untuk membawa saya ke ujung jalan. Sayangnya manusia tidak sabaran di dunia ini tidak hanya saya, tetapi ada seorang pengemudi mobil yang rupanya keras kepala seperti saya. Seluruh badan motor sudah berada di badan jalan, si pengemudi mengklakson. Saya tidak bisa melintas lebih jauh karena mobil di depan saya menghalangi jalan, walhasil saya menghalangi jalan mobil yang dikendarai pengemudi tidak sabaran itu.
Kejadiannya sangat cepat, yang terekam dalam ingatan saya adalah tiba-tiba motr miring dan saya terjatuh. Sial....tanpa melihat ke arah si pengemudi saya paksakan motor saya untuk berdiri sekaligus berharap bisa menggores cat mobil itu. Sialnya motor itu tak bisa berdiri, posisinya tidak memungkinkanlah. Kemudian si mobil mundur sedikit. Saya bisa mendirikan motor, tetapi sengaja agak berlama-lama. Niat saya membuat kesal si pengendara mobil.
Saat terjatuh saya tidak takut dan gemetar. Saya pun tidak berteriak marah ke si pengendara mobil (toh saya juga yang salah!). Aneh juga saya tidak mencaci maki orang yang menabrak saya, kedua kaki saya pun ternyata masih kuat menopang badan saya, jantung ini berdetak seperti biasanya. Tidak ada perubahan lah pokoknya.
Saya jadi berpikir, ada apa dengan saya? Apakah saya pasrah karena memang salah. Atau apakah saya yang tidak bisa membela diri sendiri, ataukah saya takut menghadapi si pengendara mobil. Mungkinkah saya seorang yang legowo karena merasa toh saya tidak dirugikan, karena motor saya dan badan ini tidak rusak dihantam oleh si mobil. Entahlah,,,,
Saking “berat”-nya pikiran saya itu, sampai-sampai saya tidak mengucapkan terima kasih ke orang yang sudah membantu saya mendirikan motor dan berteriak “Sabar dong Pak!” ke si pengemudi mobil.
Ahh,,,semenjak kejadian itu saya meyakini diri untuk tidak pernah melewati jalan pintas itu lagi. Dan sekarang saya pun sedang berusah mencari dia yang telah menolong saya tetapi belum mendapatkan ucapan terima kasih dari saya.
Bagi Anda yang telah menolong saya, Terima Kasih. Keyakinan saya, kita pasti akan bertemu dan saya akan langsung mengucapkan terima kasih kepada Anda.
syukurlah lu masih bisa mengisi blog ini fi..
ReplyDeletetapi kejadian lu ini membawa gw ke satu masa di mana UAS feature pendalaman gw. soale tentang melintas di rel kereta. jadi kata di soal itu matinya kendaraan di tengah rel itu bukan karena faktor kepanikan pengendara tapi juga karena adanya hasli gesekan antara rel dan roda kereta yang nyebabin kendaraan mati. gitu
makanya lain kali ati2 lu.
tar gw khilangan teman berolahraga dan berenang lagi.
gw sarankan untuk e minggu ini lu jangan melintas di jalan 'terlarang' tu lagi. tar kita tak jadi berhura-hura di dunia air...