Skip to main content

Posts

Showing posts from January, 2008

Pop Pop Semuanya Pop

Saya baru membaca sebuah feature di sebuah majalah atau tabloid yah? Ah, pokoknya isi dari media massa cetak itu hampir keseluruhannya mengenai dunia hiburan. Nah, di dalam media tersebut ada wawancara dengan Letto. Kalau enggak salah judul dari tulisan itu “Letto: Menghadirkan Corak Pelog dan Slendro Dalam Format Musik Kekinian”. Dalam feature ini dijelaskanlah awal Letto terbentuk, pihak produser yang melejitkan mereka, album pertama yang kurang meledak, arti nama Letto yang ternyata tidak berarti, yah...semacam itulah isinya. Dari sekian banyak informasi yang diberikan saya tertarik dengan satu bagian dari keseluruhan feature ini; Ada yang menarik dari musik yang dimainkan Letto ini. Mereka mengemas lagu-lagunya dengan nuansa etnik yang menghadirkan corak pelog dan Slendro a la gamelan Jawa tapi dalam format musik kekinian. Ini hal wajar. Maklum mereka tumbuh dalam lingkungan teater yang kuat dengan gamelan Jawa. Alhasil, musik yang dihasilkan berbeda dengan kebanyakan band-band di

Salahnya Mantan

Sang perwira telah pergi. Sang Jendral tidak lagi menyunggingkan senyumannya. Tak ada lagi The Smiling General. Semua berduka. Mereka yang mengaku sebagai keluarga, saudara, kerabat, kawan, lawan, dan musuh mengharu biru. Tak menyangka si perwiran gagah perkasa akan meninggalkan negara yang pernah diperintahnya ini. Mereka yang berbela sungkawa mengirimkan tanda dukanya berupa karangan bunga, sebagai tanda pengganti diri yang belum sempat hadir ke rumah duka. Bunga-bunga yang dirangkai indah itu tidak lupa dibelitkan kalimat “turut berduka cita” diselipkan pula si pengirim karangan bunga tersebut, bisa perorangangan maupun lembaga. Para pemilik korporat pun tidak mau kalah, mereka mengirimkan ucapan berbela sungkawanya melalui media elektronik televisi (karena saya lebih seiring menonton televisi daripada mendengarkan radio). Mereka mampu membeli durasi. Tak berbeda dengan karangan bungan, dalam iklan di televisi juga disebutkan rasa duka sedalamnya dari si empunya korporat beserta s

Melanggar Terima Kasih

Sekian lama ibu saya memaksa untuk melewati jalan pintas bila ingin pergi ke rumah nenek. Sekian kali pula saya menolak permintaan (perintah) ibu. Ada alasan tentunya. Pertama, jalan pintas itu mengerikan, jalanannya tidak bagus. Hanhya dilapisi kerikil-kerikil dan batu-batu. Motor saya yang tidak bisa dibilang baru lagi tidak akan menyamankan saya sewaktu melewatinya. Setiap akan menyebrang saya selalu berpikir bagaimana kalau jatuh nanti. Selalu pikiran itu yang melintas kepala saya. Kedua, bila saya melewati jalan itu berarti melanggar peraturan. Sebenarnya jalan pintas itu bersisian dengan jalur kereta api. Bila melewati jalur itu saya pastinya menghemat waktu perjalanan dan bahan bakar. Tetapi, saya harus menentang tiga arus jalan, kebetulan jalan tersebut berada di sekitar jalur lingkar luar. Yah,,,pokoknya akan sangat melanggar perturan bila melewati jalan tersebut. Ketiga, seperti yang telah saya sebutkan di atas, jalan tersebut tepat berada di samping rel kereta api. Coba

Merah Itu Cinta

Maaf, kalo judulnya seperti sebuah film. Tapi (selain talent -nya Marsha Timothy yang maen di film berjudul sama) memang seperti yang gw bisa lihat dan rasakan dari video klip itu. Warna merah sebenarnya enggak dominan, namun karena hampir keseluruhan warna klip itu hampir hitam putih dan kentara sekali menonjolkan warna merah, walhasil merah itu sangat terlihat di keseluruhan klip. Awal pertemuan di lorong belum ada merah, masih hijau, hitam dan putih. Menggambarkan masih “muda”-nya perasaan kedua manusia itu. Trus,,,waktu berjalan. Hijau berubah menjadi merah. Rasa itu dikuatkan dengan warna yang ditampilkan. Merah menunjukkan perasaan hati, MEMBARA karena cinta. MERAH memberikan makna lebih dari CINTA, karena, saat itu, cinta tidak bisa menggambarkan perasaan si wanita untuk si pria. Merah di atas cinta. Dalam “merah” mereka kawin. Dalam merah cinta mereka abadi. Perkawinan dalam MERAH itu ABADI. Perkawinan dalam CINTA itu KEKAL. Cinta yang menyatukan mereka. Merah yang merek

Unfaithfull Chaser

Sepertinya Sabtu (12/1/2008) tidak berbeda dengan hari-hari biasanya di Kota Bandung. Jumlah jam dalam sehari itu tetap 24, jelas tidak berbeda. Hanya saja hari itu merupahan H-1 sebelum seri Harry Potter dan Relikui Kematian (HPdRK) terbit. Seperti pecinta-pecinta hikayat penyihir itu, gw pun pergi ke Bandung, demi memeriahkan penyambutan seri terkahir novel yang hebat itu. Ah,,,, Acara baru dimulai jam sepuluh malam, tidak sedikit juga yang mengantri untuk bisa masuk mengikuti acara yang diadakan oleh si toko buku. Lumayanlah,,,,ketemu sama orang-orang yang punya minat yang sama. Permainan di dalam toko buku pun lumayan seru, tapi sayangnya gw terlalu dini untuk kalah. Gw ma kelompok, Hufflepuff, cuma menang di babak pertama. Gara-gara gagal di babak kedua gw, tidak bisa ikut permainan lainnya. Payah,,,,tapi cukup lumayanlah. Setidaknya gw dapat buku gratis,,,,yuhuuhuu... Walaupun disambut agak cupu oleh si empunya toko buku, akhirnya “anak” yang telah lama kutunggu kelahirannya dij

Cuma "Terima Kasih"

DEAR GOD , thank u very very much for giving me the best time on earth. thank u for giving me the best family for me, thank u for all the things u shown me, THANKS GOD for letting me know how to say THANK U

Jangan Hilang

Dalam sebuah diskusi di sebuah situs, ada yang beropini bahwa saat ini masyarakat Indonesia telah meyiayiakan kemerdekaan dan rasa cinta Indonesia tida k sebesar pejuang kemerdekaan. Saya setuju dengan pendapat yang mengatakan saat ini rasa kepemilikan “merdeka” pada generasi muda tidak sebesar para pejuang kemerdekaan. Saya sendiri pun rasanya tidak terlalu memiliki kemerdekaan itu. Saya lahir saat Indonesia sudah merdeka 21 tahun. Saya sudah hidup di suasana kemerdekaan. Dari mulai otak ini bisa mencerna perkataan orang, yang saya yakini adalah saya hidup di Indonesia merdeka. Saya tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk merdeka. Selama hidup, saya pun merasa nyaman dengan kemerdekaan ini. Tidak ada satu halangan yang membuat saya merasa terjajah. Akhirnya saya merasa “nyaman” dengan keadaan sekarang ini. Setiap upacara 17 Agustus pun saya tidak terlalu “wah”, upacara penaikan bendera dua warna itu seremonial belaka. Ternyata teman-teman saya pun merasakan hal yang sama.

Hati Yang Berbicara

Gw pernah ngobrol dengan seorang anak asuh di Rumah Musik Harry Roesli (RMHR), Bandung. Saat ngobrol itu terlontarlah dari mulut anak itu kalau ia belajar bermain gitar sejak umur 7 thn dan mengenal biola saat umurnya menginjak 11 tahun (sebelum menjadi asuhan RMHR). Andaikanlah namanya Andi. Ia mempelajari gitar dan biola secara otodidak dan dengan sedikit bantuan dari orang yang sedikitnya mengerti cara bermain kedua alat musik itu. Dia tidak mengenal partitur musik. Dia ingin bisa bermain musik agar bisa mengamen. Dengan mengamen berarti dia mendapatkan uang. Kalau punya uang dia bisa jajan dan memberikan sebagian penghasilannya untuk ibu di rumah. Intinya anak ini bisa karena biasa dan dia tuntutan hiduplah yang memaksa dirinya untuk bermusik. Di lain hari gw ketemu dengan anak ITB, pangil saja dia Dita, diakuinya bahwa ia sudah mempelajari bermain biola hampir lima tahun lamanya. Namun, ia masih yakin kalau permainan musiknya belum begitu baik. Selama lima tahun ia masuk ke temp

HIKAYAT DIURNA

H-7 : Efi menyanyakan perihal kesiapan materi tulisan pada Pipit. “Sudah selesaikah?” tanyanya. “Ada sedikit masalah, kalau gw ceritain nanti lo tambah pusing lagi,” jawab Pipit. Kebetulan saat itu efi merasa kepalanya sangat pusing. “Ya sudahlah kalu begitu, kalau ada apa-apa, kabarin gw yak!” ujar Efi. “Okay,” jawab Pipit singkat. H-6 : Efi dan Ceu-ceu mencari percetakan yang agak murah untuk mencetak diurna . Setelah berpusing-pusing yang cukup memusingkan akhirnya mereka menetapkan pilihan pada sebuah percetakan. Harga yang lebih murah Rp. 5 ribu membuat mereka makin membulatkan tekad. H-5 : Efi menanyakan pada Pipit apakah ada masalah dengan materi tulisan. “Ada beberapa yang belum masuk nih, besok sepertinya kelar,” jelas Pipit. H-4 : Pipit menyakan pendapat Efi, “sebaiknya ukuran tulisan 9 atau 8.5?” tanyanya. Efi memilih ukuran 8.5, namun Pipit memberikan contoh perbedaan dua ukuran tersebut. Akhirnya mereka menetapkan ukuran 8.5 sebagai ukuran besar tulisan mereka. H-3 :

Di Puncak Tangga

Tik..tok..tik..tok... Enggak berasa nih kawan, dah hampir kelar semester tujuh. Semester delapan tinggal beberapa waktu lagi masuk ke dalam kehidupan kita. Dapat dipastikan dengan masuknya semester delapan kita makin sibuk dengan urusan masing-masing. Yang kecil pasti sibuk dengan urusan job tre-nya. Yang cowok pun sepertinya demikian. Yang jilbab gw kurang ngerti neh dia sibuk job tre, kuliah, atau keduanya. Sedangkan jilbab yang lain pasti sibuk dengan organisasinya dan dibantu oleh si pasangan hidupnya. Teman sejawatnya. Sedangkan yang gingsul, rambut panjang, rambut pendek kaca mata, dan gw pasti sibuk dengan kuliah dan job tre. Kalau gw sih ada tambahannya, yaitu bersenang-senang. Hehehe...aku akan menikmati semester besok yang tidak banyak kuliah. Yihaa....setidaknya dengan sedikit kuliah gw bisa mengerjakan sesuatu yang gw dah dari dulu pengen dilakuin. Asik..asik... Tetapi yang jadi masalah gw mesti bersenang-senang sama siapa. Toh, lo semua aja mungkin sibuk dan entah ada di m

b'day blast

PAPAKU,,,selamat ulang tahun yah.... Sebenarnya ingin menghabiskan akhir tahun dan menyambut datangnya tahun baru—yang juga merupakan hari ulang tahunmu—bersama-sama keluarga di rumah. Namun, Pa, maafkan anakmu yang keras kemauannya ini untuk tidak tinggal di rumah bersama kalian semua kemarin. Jangan anggap aku tidak menyayangimu dengan meninggkalkan rumah beberapa hari sebelum hari jadimu. Sungguh Pa, aku sayang kamu... Tak usahlah aku mengumbar-umbar rasa sayangku secara berlebihan. Aku pun tak akan mengatakan rasa sayangku secara langsung dihadapanmu. Hanya saja, lihatlah setiap tindakanku, perhatikanlah setiap perkataanku, amatilah perilakuku. Ku yakin kalau kau melihatnya dengan seksama, kau akan tahu setiap apa pun yang aku kerjakan tidak lepas dari keinginanku untuk membuat dirimu, mama, Sanda, dan Riyan bahagia. Sungguh tak akan kubinasakan pengharapan dirimu akan diriku. Pa, dengan aku meninggalkanmu beberapa hari yang lalu aku ingin kau mengerti bahwa perempuanmu ini (akan)

New Year Me...

If one second can change a year, imagine waht a whole year coul change. Happy new year 2008! Change the new you, a BETTER YOU! Kalimat-kalimat tadi berasal dari sms—yang pertama tahun ini—yang dikirimkan temen saya. Saya terima sms itu jam dua malam, saya baca trus saya tertidur lagi. Saat pertama baca saya belum bisa mencernanya, maklum badan ini sangat lelah, seharian berputar-putar di Bandung membuat tubuh ini hampir rontok. Baru sekitar pukul enam saya baca lagi sms semalam. Wah, isinya membuat semangat. Sebenarnya kata-kata itu sebaiknya tidak usah menunggu saat pergantian tahun untuk dikirimkan. Setiap hari ataupun setiap detik sms macam itu bisa dikirimkan. Saya setuju dengan isi sms itu yang bilang jangankan setahun, dalam satu detik pun kita bisa mengubah sesuatu. Bisa dibayangkan kalau saja Jack Dawson ditinggal berangkat kapal yang diakui “tidak akan pernah” tenggelam, Titanic, pastinya dia tidak akan bertemu Rose dan ia pun tidak akan kehilangan nyawa. Berarti sekali kan