Skip to main content

Profesionalkah?

Entah mengapa bebrapa hari belakangan ini saya selalu mendengar kata profesionalisme. Sebenarnya saya juga kurang tahu arti kata profesionalisme itu secara utuh, kalau tidak salah profesionalisme itu adalah sebuah sebuah paham (yah semua orang juga tahu itu...). aduuuh,,,maaf saya belum mendapatkan arti kata profesionalisme itu secara utuh. Sudah lupakan sejenak arti kata profesionalisme itu, sebenarnya saya ingin menceritakan pengalaman saja. Begini,,,kemarin saya mengikuti sebuah kelas perkuliahan. Seorang teman mempresentasikan bakal calon penelitian untuk skripsinya. Kalau tidak salah judulnya FENOMENOLOGI PROFESIONALISME KEWARTAWANAN. Seorang teman itu mengatakan bahwa dirinya hendak memaparkan apakah wartawan yang bertugas di Bandung paham dengan profesionalisme. Walaupun tidak membatasi kata profesionalisme itu sendiri, dari pemaparannya, saya menangkap bahwa seorang teman itu ingin melihat fenomena kinerja wartawan di lapangan apakah sesuai dengan kode etik profesi yang ada. Keesokan hari saya juga mengikuti perkuliahan yang membahas tentang positioning sebuah media. Dosen mencontohkan sebuah media massa nasional yang besar, media tersebut tidak telah berani mengatakan bahwa wartawannya tidak menerima ”amplop”. Hal ini dilakukan media tersebut untuk menjaga ”objektivitas” wartawannya. Apa maksud? Agar pembacanya yakin bahwa apa yang ditulis oleh media tersebut adalah ”benar” dan tidak dibumbui macam-macam oleh ”peracik”nya. Kuliah selesai,,,,saya pulang saja. Malas berduduk-duduk di kampus sambil mengobrol dengan teman. Namun, saya masih enggan untuk merebahkan badan di atas tempat tidur. Akhirnya saya memilih untuk menyewa beberapa film di tempat saya berlangganan. Pemilik rental menyambut dengan senyumnya. Menanyakan kabar dan saya jawab baik-baik saja. Tak lupa ia menanyakan keberadaan teman-teman, saya jawab tidak tahu (entah ada di mana mereka saat itu, saya sendiri). Lalu pemilik rental menanyakan bagaimana kelanjutan berita itu. Berita itu? Jadi begini, beberapa waktu sebelumnya saya menceritakan bahwa ada sebuah tempat penyewaan film yang dirazia oleh polisi. Saya beberkan apa yang diketahui kepada pemilik rental. Saat itu ia mulai berjaga-jaga kalau sampai polisi datang. Kemarin pemilik rental bercerita bahwa seminggu belakangan ada dua orang polisi yang datang dan ingin memeriksa rental miliknya. Setelah beradu argumen beberapa lama akhirnya polisi itu mengatakan bahwa ia hanya menjalankan tugas dari atasannya. Dan, ia pun ”menekankan” bahwa polisi meminta pemilik rental untuk pengertian bahwa untuk menjalankan tugas ia membutuhkan ”dana” operasional. Kata kasarnya ia minta ”amplop”. Mendengar itu gw cuma tersenyum. Waduh,,,masa sih aparat negara bertindak seperti itu. Tindakan demikian memberikan kesan mereka kurang profesional. Seakan-akan mereka menganut paham ”Ada Uang Abang Disayang, Tak Ada Uang Abang Ditahan”. Selain itu, gw juga miris. Aduuhh,,,mengapa mereka melakukan hal itu. Denger-denger dari mereka sih katanya gaji mereka kecil sehingga (maaf) ”meminta-minta” adalah salah satu kerja sampingan mereka. Gawat,,,konotasi amplop kan selalu buruk yah. Wartawan tidak boleh menerima amplop karena ia ingin membuat yakin pembacanya kalau mereka tidak ada pemelintiran dalam berita yang mereka laporkan. Nah,,,kalo polisi yang melakukan itu gw sedih banget. Bokap gw memang bukan polisi, tapi gw suka berpikir kalo seandainya bokap gw sebagai polisi. Aduuuhhh,,,,sedih banget kalo sampe bokap gw melakukan hal itu. Sayangnya lagi ternyata tindakan mereka yang seperti itu diketahui oleh atasannya. Namun, si atasannya pun seakan merestui apa yang dilakukan oleh si anak buah (SANGAT SUBYEKTIF DAN SOK TAHU SAYA). Ohh,,andaikan polisi kita sudah merasa terjamin dengan apa yang didapatkannya, pasti tidak akan ada kejadian seperti itu (mungkin). Selain itu, masyarakat pun akan yakin bahwa mereka dilindungi oleh aparat yang memang menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak memelintir kebenaran. Kapankah terwujud... Tunggu saja di sudut itu. Kita lihat saja apakah akan berubah....

Comments

Popular posts from this blog

Who Am I?

I am becoming the person I hate the most. How I wish to have a peacefull mind but don,t work. Spend too much time with virtual world drown me into misery.

Di Puncak Tangga

Tik..tok..tik..tok... Enggak berasa nih kawan, dah hampir kelar semester tujuh. Semester delapan tinggal beberapa waktu lagi masuk ke dalam kehidupan kita. Dapat dipastikan dengan masuknya semester delapan kita makin sibuk dengan urusan masing-masing. Yang kecil pasti sibuk dengan urusan job tre-nya. Yang cowok pun sepertinya demikian. Yang jilbab gw kurang ngerti neh dia sibuk job tre, kuliah, atau keduanya. Sedangkan jilbab yang lain pasti sibuk dengan organisasinya dan dibantu oleh si pasangan hidupnya. Teman sejawatnya. Sedangkan yang gingsul, rambut panjang, rambut pendek kaca mata, dan gw pasti sibuk dengan kuliah dan job tre. Kalau gw sih ada tambahannya, yaitu bersenang-senang. Hehehe...aku akan menikmati semester besok yang tidak banyak kuliah. Yihaa....setidaknya dengan sedikit kuliah gw bisa mengerjakan sesuatu yang gw dah dari dulu pengen dilakuin. Asik..asik... Tetapi yang jadi masalah gw mesti bersenang-senang sama siapa. Toh, lo semua aja mungkin sibuk dan entah ada di m

veinti ocho

Another number to add. This time I kinda relax to face it. No excited feelings, nor ignore the date. It came all natural. Just want to take a moment of silent for meself. Some big steps in life I've already taken before this number came. I am now, living mylife as an expats, a little wish I whispered ages ago. I left family back home, so it let me feel homesick of being around them. The bold note for this time is I am in the country I have longed since years ago, India. One time I told myself to add the number in India. And, here I am. How wonderful life is. Especially when the love one is there next to me. I want a memento, a present for me. I will have it later and keep you updated. Namaste.