Saya keturunan Minang tulen. Kedua orang tua saya asli dari ranah Sumbar, bokap Bukittinggi dan nyokap Padang Panjang.
Entah mengapa kekeluargaan itu sangat kental. Jangan tanya saya mengapa, kan, sudah saya bilang diri ini cuma keturunan perihal tetek bengek adat saya tidak paham. Balik ke masalah kekeluargaan, saya selalu kagum untuk hal yang satu ini. Pertama, setiap anak rantau pasti saling menjaga satu sama lain. Kedua, bila ada acara besar macam pernikahan atau lainnya pasti semua turun tangan ikut membantu. Ketiga, jumlah orang minang yang bisa dikatakan masih memiliki kekerabatan sangat banyak. Kalau dibuat pohon silsilah keluarga, anak dari menantu paman yang masih sepupu bokap yang menikah dengan cucu dari sepupu jauh nyokap bisa masuk ke pohon keluarga. Belum lagi kalau tetua-nya memiliki lebih dari satu pasangan hidup, wah,,bentuk diagram silsilah keluarga bisa seperti pohon beringin.
*cengar-cengir*
Memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak merupakan anugrah. Kalau bikin hajatan gak perlu repot cari-cari tenaga orang luar, cukup kerahkan anggota keluarga yang ada. Lucunya, terkadang separuh dari jumlah tamu hajatan adalah keluarga sendiri. Tetapi, semakin banyak orang yang dianggap sebagai keluarga semakin rumit untuk mengingat nama dan jenis hubungan persaudaraan kami. Yang lebih parah kalau ada eligable hunk tapi tidak bisa digebet karena status kami masih sepupu. Teruk nian.
Entah mengapa keluarga kami suka sekali beranak pinak. Nenek dari sisi bokap punya 11 anak yang masing-masing memiliki setidaknya 3 orang anak. Banyak. Lagi-lagi saya harus mengingat siapa apak dan yang mana etek, siapa sepupu dan yang mana keponakan. Saking banyaknya anggota keluarga, saya pikir kami bisa membangun Nagari sendiri.
Selain masalah mengingat, ada hal lain yg membuat saya agak kikuk berada di dalam lingkungan keluarga besar, ada sepupu saya yang seumuran nyokap (dia anak pertama dari kakak kedua bokap). Apa masalahnya? Sepupu saya punya anak seumuran saya, keponakan saya. Apa masalahnya? Keponakan saya sudah menikah dan sedang menanti kelahiran anaknya. Apa masalahnya? Saya belum siap menjadi nenek di umur 20-an. Sungguh ini cobaan terberat bagi saya menjadi nenek padahal saya belum menikah. Sepupu saya yang lain (seumuran saya) juga syok, tetapi dia berujar, "Fi, kita masih mending jadi kakek-nenek di umur 20-an, itu si Yudit (sepupu saya yang lain) yang kasian. Dia harus rela dipanggil kakek diusianya yang baru enam tahun."
I am becoming the person I hate the most. How I wish to have a peacefull mind but don,t work. Spend too much time with virtual world drown me into misery.