Menghabiskan
separuh hari di dalam bis ada untungnya juga, menyimpan tenaga untuk perjalanan
berikutnya. Selain itu, ada bonus juga dua pria tampan yang duduk persis di
depan kursi saya dan Pipit. Penyegaran mata penting saudara-saudara. Saya sering
curi-curi pandang ke depan kalau si dua pria tampan itu bercengkrama. Kesenangan
saya padam saat Pipit dengan seenak jidatnya bilang, “mereka gay, Fi!”
Saya
suka bingung sama Pipit, kenapa suka kasih info seperti itu di saat saya belum
klimaks. Meskipun asumsi Pipit belum tentu benar, saya jadi jengah setiap
melihat si dua pria itu ketawa-ketawa. Sayapun jadi malas untuk memulai
pembicaraan dengan salah satu pria yang memiliki mata indah itu. Tidak ada
senyum manis andalan yang saya berikan pada si mata indah ketika berpapasan di
wastafel restoran tempat kami menyantap makan malam.
Sekitar
pukul delapan malam, Mekong Express berhenti di pemberhentian terakhirnya,
Terminal Bus Siem Reap. Setelah bus benar-benar berhenti, saya
celingak-celinguk mencari jemputan gratis yang dijanjikan guesthouse tempat
kami menginap. Tidak ada satupun penjemput yang membawa papan bertuliskan “Efi”.
Tetapi mata saya tertuju pada seorang pria yang membawa papan nama “Happy
Guesthouse”, saya yakin dia yang seharusnya menjemput saya, ya, kalau tidak
juga enggak masalah, saya dan Pipit bisa saja ikut menebeng dengan orang yang
mendapat jemputan itu, kan, tujuannya sama. Eh,,tetapi ternyata setelah saya
tanya-tanya ternyata Duan, pengemudi tuk-tuk, memang utusan guesthouse untuk
menjemput kami berdua. Tetapi, karena Duan menuliskan “Yasuri” yang maksudnya
adalah nama lengkap saya, jadi saja saya tidak ngeh pada pandangan pertama, soalnya nama itu terkesan Jepang dan
memang di bus kami ada pengunjung dari negeri sakura.
Duan
cukup informatif. Dialah orang pertama yang memberikan kami saran untuk pergi
sebelum matahari terbit ke Angkor Wat. Duan juga ikut memikirkan waktu yang
tepat bagi kami untuk menuju perbatasan Poipet untuk melanjutkan perjalanan ke
Thailand. Ah,,sudahlah tak usah pikirkan perjalanan ke Thailand dulu, nikmati
saja Siem Reap tempat kaki kami berpijak saat itu.
Saya
suka atmosfer Happy Guesthouse, pengelola meletakan restoran dan barnya di
depan guesthouse, dengan alunan musik yang enak didengar saya merasa disambut
dengan hangat di Siem Reap. Ternyata Duan bukan merupakan satu-satunya staf
Happy yang ramah, seluruhnya ramah. Nga, staf sekaligus keponakan dari pemilik
guesthouse, menyambut kami. Sambil mengantarkan kami ke kamar dia memberikan
info ini itu tentang Siem Reap.
Sebenarnya
saya lelah akibat 12 jam perjalanan, tetapi kamar tempat kami menginap sangat
panas. Kipas angin yang kekuatannya sudah maksimal tidak terlalu membantu mendinginkan
ruangan. Saya putuskan untuk turun ke restoran, memesan sebotol cola dingin. Segaaar!
Alasan lain saya turun ke resto adalah mendapatkan sinyal wifi yang hanya ada
di area ini dan juga mencari teman ngobrol baru. Yah, lumayan kalau ada yang nyangkut.
Hehehe...
“Besok
mau ke Angkor Wat?” tanya seorang pria berkaca mata yang duduk di seberang meja
saya. Saya jawab dengan anggukan. Dia yang mengaku bernama Maarten ini ternyata
juga akan mengunjungi Angkor Wat keesokan hari, namun berhubung sendirian dia
mencari turis lain yang mau berbagi sewa tuk-tuk. Saya iyakan, lumayan biaya
sewa tuk-tuk seharga USD 15 bisa dibagi tiga.
Tampang
Maarten terlihat seperti seorang nerd. Kesan itu diperkuat dengan suara halus
dan kalimatnya yang tertata rapi. Sambil berfokus pada laptopnya, pria asal
Belanda ini cerita kalau dia sudah 8,5 bulan berkelana keliling dunia. Dia menunjukan
peta perjalanannya, benar saja dia hampir selesai bertualang satu putaran bumi.
Bikin iri!
“Mampir
ke Indonesia enggak?” tanya saya. Dengan
memasang senyum lebar Maarten menggelengkan kepalanya. Keterlaluan! Teriak saya.
Padahal sebelum kembali ke Belanda dia akan mampir sebentar di Malaysia yang
hanya 1,5 jam dari Indonesia. “I can’t, I am running out of money,” kata dia. Aduuh,,si
Maarten ini pengen saya cekik, bisa-bisanya melewati Indonesia begitu saja.
“Someday I will. What should I do in
Indonesia? to conquer you all over again?” selorohnya.
Melihat
Maarten seperti berbicara dengan Ditto, teman kuliah saya dulu. Perawakan dan
gaya sok cool-nya mirip. Keduanya juga
jago motret. Foto Angkor Wat dengan semburat matahari terbit jepretan Maarten
sungguh keren. Melihat hasil bidikannya, saya meniatkan diri untuk mengecek
laman facebook Maarten sesampainya kami di guesthouse.
Berjalan-jalan
dengan orang yang tidak kita kenal sama sekali ternyata cukup menyenangkan,
seperti berada dalam fast track untuk mengenal satu sama lain. Terkadang tanpa
sadar kita akan refleks menganggap teman perjalanan baru seperti teman yang
sudah kita kenal sedari dulu. Bahkan Pipit berani memarahi Maarten saat tahu
Maarten tidak akan menapakan kakinya di Indonesia. Mengomeli anak orang yang
baru dikenal beberapa jam tentunya tidak akan mudah kalau kita tidak merasa “dekat”.
Maarten
pun sempat sedikit menghardik ketika saya terlihat tidak menangkap omongannya. “Are you following me?” tanyanya dengan
nada kesal sebelum kembali mengulang lagi pernyataanya.
Tidak
butuh waktu panjang untuk mengetahui kalau Maarten adalah seorang perfeksionis.
Saya pernah disuruh berkali-kali mengambil gambar dirinya sesuai kemauannya. Sudah
dengan susah payah memotret, Maarten masih mengomel karena jepretan saya tidak
sesuai arahannya. Padahal untuk mendapatkan hasil seperti yang diinginkan,
karya saya hanya butuh dipotong sedikit dan voila!
Jadilah foto yang sesuai maunya.
Maarten
punya kebiasaan unik. Setiap dia melihat wisatawan dia akan langsung
menginformasikan kepada saya dari mana mereka berasal. “He is from Germany, I overheard when he explained to the tour guide
that he was born in west but raised in east,” ceritanya sambil menunjuk
pria yang sedang berjalan dengan tour guidenya. “They are from Belgium, that
guy from Spain, those men are from Belanda,” cerocosnya. “Pentingnya buat
saya apa?” tanya saya. Sambil menaikan bahunya Maarten menjawab “I am just telling you.”
Maarten "Hard to Please" Rutten |
Angkor
Wat memang menakjubkan. Kantuk saya langsung hilang saat melihat semburat merah
matahari pagi yang menjadi latar belakang Angkor Wat. Speechless. Saya selalu kagum dengan pembuat candi masa itu. Ide dan
pembuatan candi di abad 8 setelah masehi tentunya bukan perkara mudah, bahkan
kalau dibuat di zaman modern sekarang ini pun tidak bisa dianggap enteng.
Sebelum
beranjak ke candi berikutnya, kami bertiga memilih untuk sarapan. Kami mengikuti
langkah Anna, pekerja di salah satu warung tenda, masuk ke kedainya. Di kanan-kiri
warung Anna ada beberapa warung lain yang memiliki nama seru-seru seperti Harry
Potter, Lady Gaga, sampai Rambo.
Sebenarnya
Rambolah yang pertama mengajak kami ke tendanya. Saat kami baru sampai di
Angkor Wat, Rambo menghampiri kami “Hello
good morning. My name is Rambo, you can have breakfast at my tent over there
after walking arround the temple. Don’t worry I will not sell anything to you
right now, just come to my tent after. You are very lucky because there are not
so much sky and you can see the sun rises. Enjoy your time and don’t forget
my name is Rambo.” Pria muda itu dengan lancar menjalankan SOP penyambutan
turis yang belum sempat sarapan untuk mampir ke tempatnya.
Memiliki
kompleks candi semegah Angkor Wat memang menjadi berkah bagi penduduk sekitar. Bagi
yang memiliki dana lebih mereka bisa membuat penginapan yang tampaknya akan
jarang sepi. Kalau modal tidak terlalu kuat, membuka kedai makanan seperti yang
dilakukan Anna, Rambo, Lady Gaga, dan Harry Potter lakukan bisa menjadi
pilihan. Atau, menjual cinderamata seperti gelang, kalung, atau buku bisa
menjadi opsi lain.
Saya
dan Maarten tertarik membeli buku berjudul Ancient Angkor. Di sampul belakang
buku tertera harga USD 27, namun si penjual menawarkan USD 10. Ini jebakan,
sebenarnya Maarten berani bertanya harga buku tersebut karena sebelumnya si
penjual bilang harganya US$ 2, ternyata harga tersebut untuk buku lain. Awalnya
kami tidak mau beli, namun orang Khmer itu pejuang yang gigih, akhirnya Maarten
menukarkan USD 5 dengan satu buku.
Insting
bisnis pedagang ini memang kuat saudara-saudara. Dia bisa mengendus
ketertarikan saya, dipaksanya saya untuk beli. “Why should I buy it, if I can borrow it from him,” kata saya sambil
menujuk Maarten. Dengan sigap Maarten menyodorkan bukunya dan menyuruh saya
membaca. “I am making a small business
here, help me buy one. Your friend bought it from my friend but I didnt sell
any,” kata si Jay-Z, gaya berpakaiannya mirip rapper agar mudah mengingat
saya bikin nama panggilan untuknya.
Alasan
Maarten membeli buku itu adalah untuk memudahkannya untuk berkeliling kompleks
keesokan harinya, “I need this so I don’t
need to have a tour guide tomorrow,” jelasnya. Sementara saya beragumen, “Well,
I don’t have much time here so I will find out more from this book.”
Semua
alasan pembenaran tersebut berubah menjadi cacian saat kami berjalan ke candi
lain. salah satu penjual menjajakan buku yang sama seharga USD 1. Saya dan
Maarten menggerutu sementara Pipit cekikan geli. “It is ok guys, they are poor, you helped them,” kata Pipit. Saya manyun.
Kejengkelan
saya sedikit berkurang saat memasuki candi Bayon. Candi yang cukup besar dengan
struktur bangunan yang cukup berbahaya. Di mana-mana saya melihat ada
peringatan agar pengunjung tidak bersender sembarangan. Bukan apa-apa, Bayon
masih direstorasi di sebagian tempat, lagipula candi tersebut sudah dimakan
umur wajar kalau rapuh. Candi-candi lain pun banyak yang sedang direstorasi,
pemerintah Kamboja mendapat bantuan dari negara-negara asing untuk memperbaiki
candi-candi yang ditetapkan UNICEF sebagai warisan budaya dunia ini.
Berdasarkan
buku yang saya beli, seluruh candi yang ada di kompleks Angkor Wat sempat
bergantian menjadi tempat ibadah kaum Budha dan Hindu. Setiap candi dibangun
untuk menghormati raja yang memimpin di masanya. Banyak sekali candi yang ada
di seluruh kompleks, bila mau mengitari seluruhnya dibutuhkan waktu sekitar 3-5
hari.
Hari
itu, kami bertiga hanya ambil paket satu hari dan mengunjungi lima candi
terdekat dari pintu utama. Saya dan Pipit membayar USD 20 untuk sekali masuk,
sementara Maarten membeli tiket terusan tiga hari seharga USD 40. Hmm,,sekali
lagi Maarten membuat saya iri, perjalanannya nampak seperti unlimited and has the whole time in the
world.
Saya
melakukan kesalahan dengan memakai celana pendek dan tidak membawa kain
panjang. Walhasil saat bertemu biksu saya harus ngumpeti, mereka sih tampak biasa saja, tetapi saya merasa menjadi
orang jahat karena tidak menghormati candi yang masih sering mereka pakai untuk
beribadah. I shouldnt have worn short.
“Well, I don’t mind,” kata Maarten
sambil cengengesan.
the famous face |
tree hugger |
Kalau
Bayon terlihat hebat dengan relief muka budha yang menghadap ke empat arah mata
angin, Ta Phrom menawarkan keeksotisan lain. Tree Hugger, begitu saya menamakan Ta Phrom. Indah sekaligus mistis
melihat candi berumur ratusan tahun dililit oleh pohon-pohon tua. Candi yang
pernah menjadi lokasi pengambilan gambar Tomb
Raider yang dibintangi Angelina Jolie ini adalah favorit saya.
Di
sini saya dan Maarten cekikikan melihat rombongan turis Jepang yang unik. Topi lebar
penghalau sinar matahari, kacamata hitam agar tidak silau, masker penampik debu,
dan sarung tangan menjadi perlengkapan wajib mereka. Mereka tertutup dari
kepala sampai kaki. Memangnya mereka sebegitu ringkih ya?
Karena
kaki sudah mulai lelah, saya dan Maarten memutuskan untuk ke tempat Duan
menunggu kami. Tapi, loh, kok, Pipit enggak
ada. Maarten panik. Sambil meluruskan kaki di atas tuk-tuk, Maarten bilang
kami harus kembali ke Ta Phrom bila dalam sepuluh menit Pipit tidak datang.
“Don’t you worry. She will be fine, she was
the one who read map in Vietnam, so she wont get lost,” ujar saya. Bukannya
tidak khawatir, tetapi saya rasanya, kok, tidak sanggup masuk ke dalam, kaki
saya sudah kelelahan lagian panas sekali Siem Reap hari itu. Aku tak sanggup. Tetapi
Maarten mana mau mengerti, dia berhasil menyeret saya kembali ke dalam untuk
mencari Pipit. Dan, tahukah saudara-saudara dimana Pipit berada? Dia sedang
duduk santai di pintu masuk Ta Phrom. Ternyata dia tidak mendengar Duan yang
mengatakan akan menunggu kami di pintu keluar yang berada di sisi lain.
Comments
Post a Comment
thank you for reading and feel free to comment :)