Masih tersisa cerita saudara-saudara. Kisah
kecil sebelum perjalanan kami berakhir.
Seperti yang saya ceritakan sebelumnya
kalau sebelum keberangkatan kami hujan turun. Chris menyarankan kami untuk
menggunakan ojek motor ke terminal dan naik bus ke bandara daripada naik taksi
yang bisa mencapai 400 baht per orang. Mengikuti sarannya, kami mencari ojek
motor di pinggir jalan.
Menurut jadwal, bus akan berangkat
sekitar pukul 15.30 waktu setempat. Saya mengintip jam tangan, sudah 15.10,
kami harus segera mendapatkan ojek. Ada seorang tukang ojek, setelah tawar
menawar dia minta bayaran 40 baht per orang. Kami mengiyakan, tetapi ternyata
dia ingin membonceng kami berdua di atas motornya. Gila pikir saya.
Di tengah perdebatan kami meminta ia
mencari tukang ojek lainnya, sebuah mobil berjalan mendekat dengan jendela
belakang terbuka. Seorang pria menyembulkan kepalanya dan berteriak “Do you
know the road to bus station?” tanya dia.
“Yes we do! Can we hope in to your
car, it is just two of us, and we are gonna show you the way,” tawar saya. Dia menjawab
permintaan saya dengan membuka pintu belakangnya. Buru-buru saya dan Pipit
menghambur masuk meninggalkan tukang ojek yang melongo.
Selain si pria, di dalam mobil
terdapat dua orang wanita. Mereka mengaku berasal dari Serbia, Rusia, dan
Uzbekistan. Hari itu, si pria Serbia hendak ke Bangkok untuk mengejar pesawat
ke Serbia keesokan harinya.
Sudah pukul 15.20. Saya panik. Tanpa banyak
basa-basi, saya bertindak menjadi navigator. Tidak, kalian tidak salah baca. Kenyataannya
memang demikian, saya yang gagap baca peta yang menunjukan jalan dengan percaya
diri.
Saya: okeh,,lurus saja terus. Nanti di
depan belok kanan. *nada tegas*
Uzbekistan: eh,,,yang jalan ke kanan
ini satu arah, enggak bisa belok.
Saya: *glek* okeh, belokan berikutnya
Uzbekistan: ke mana nih? *sambil ingin
berbelok ke kanan*
Saya: eh,,bukan ding. Masih satu
belokan di depan.
Uzbekistan: kasih taunya jangan
mendadak dong.
Pipit: di depan belok kanan, terus
ikutin jalan dulu *geregetan dengan disorientasi saya*
Uzbekistan: dari lampu merah ini ke
mana?
Saya: kiri
Pipit: lurus
Saya: yakin lo? Eh,,iya lurus *masih
sok tau*
Serbia: kalian beneran tau jalan ke
terminal?
Saya: iyalah. *sewot*
Serbia: kok, kalian bisa tau
*nyelidik*
Saya: kemaren baru dari sana, tapi
jalan kaki
Serbia: kok, kalian bisa hapal? Udah berapa
lama di sini?
Saya: Cuma sehari di sini. Dan, kami
sering nyasar jadinya tau jalan *diucapkan di dalam hati daripada seisi mobil
histeris karena sadar orang yang ditumpanginnya tidak benar-benar mahfum jalan*
Pipit: kalian udah berapa lama di
sini?
Serbia: saya cuma beberapa minggu,
kalo si Uzbekistan udah setahun di Phuket.
Pipit: kok, udah setahun enggak tahu
jalan sama sekali
Saya: ehh... *si Pipit galak bener. Saya
menunduk dan pasrah saja kalau orang-orang Eropa itu mendepak kami keluar dari
mobilnya karena kelakuan penumpangnya sangat tidak terpuji*
Serbia: kami jarangk ke kota,
kebanyakan waktu habis di pantai.
Pipit: nah, itu di depan terminalnya.
Uzbekistan: arghhh...let me get out of here if you don’t really show us the right
direction!!
Rusia: sabar...sabar *mengelus
punggung Uzbekistan*
Saya: yah,,,kelewatan pintunya. Ya udah
masuk dari pintu yang satunya lagi.
Sesampainya di pintu yang saya maksud,
ternyata kendaraan pribadi tidak bisa masuk. Panik dan takut kena marah, saya hanya
ingin keluar dari mobil. Pipit tercekat dan mengoceh kalau bus ke bandara sudah
keluar dari terminal, dia buka pintu mobil yang baru berhenti dan lari ke arah
bus. Buru-buru saya menunjukan pintu masuk terminal, secepat kilat saya keluar
dari mobil, berlari, dan berteriak “thank you for the ride, have a nice day,
and be carefull on your way.”
Tepat pukul 15.35 saya sudah duduk
manis sambil mengatur napas satu-satu di dalam bus yang akan mengantarkan kami
ke bandara. Sepanjang jalan saya senyum-senyum sendiri, betapa random-nya
pengalaman 30 menit terakhir kami di kota Phuket.
***
Pesawat LCC asal Singapura membawa
kami terbang ke negeri singa tersebut. Sengaja transit semalam di Singapura
sebelum ke Jakarta karena harga tiket yang lebih murah dibanding penerbangan
langsung. Lagipula Pipit ingin “nongkrong malam minggu” Singapura. Gayanya serupa
orang kaya teman saya satu ini.
Terus terang saya tidak terlalu suka
dengan Singapura. Terlalu rapi, kaku, dan individual. Namun, saya suka beberapa
sudut kotanya seperti Little India yang saya anggap lebih normal kehidupan sosialnya
dibanding bagian lain negara ini yang lebih hedon.
Pipit ingin membeli coklat sebagai
oleh-oleh untuk kakaknya. Tempat semacam itu yang saya tahu hanya Mustafa Center.
Menggunakan MRT yang saya kagumi itu, kami berdesakan dengan penumpang lain
yang ingin pulang ke rumah masing-masing.
Beres membeli oleh-oleh kami makan di
warung India di sekitar Mustafa Center. Warung tersebut mengaku buka 24 jam,
saya dan Pipit memutuskan untuk bermalam di situ. Ternyata pukul 3 pagi kami
disuruh keluar karena warung hendak ditutup. Pipit memutuskan untuk pergi ke
Merlion Park tempat si patung singa muncrat yang terkenal itu berdiri.
Sayangnya atraksi memuntahkan air
tidak berlangsung dini hari itu. Merlion gelap dan dingin tidak menarik untuk
dijadikan latar belakang foto. Pipit masih semangat mengabadikan memori,
sementara saya lebih memilih selonjoran di tempat duduk yang tersedia.
Sekitar pukul lima pagi dan sudah
lelah menggembel, kami memutuskan untuk bergegas ke MRT terdekat dan
beristirahat di bandara. Sambil menunggu penerbangan, saya mojok di sebuah
restoran cepat saji yang menyajikan hash brown hangat dan teh panas. Saya merasa
keren karena begini-begini saya pernah menggembel di negeri mahal macam
Singapura.
Sembilan hari saja total perjalanan hoping country yang saya lalui. Tetapi,
rasanya banyak hal baru yang menyelusup ke dalam hidup saya. Tidak seutuhnya
merasa baru, tetapi saya merasa menjadi lebih “kaya” pengalaman dan teman.
Saya teringat omongan Guido beberapa
saat sebelum saya pergi, “you are an
interesting person, but it covered by all ur routine. BY traveling, you are out
of routine, it will help you to be more interesting person. Trust me.”
menggembel dekat si Merlion |
saya dan beberapa penumpang pertama MRT |
Saya, sih, tidak terlalu merasakan hal
signifikan berubah dari diri saya. Tetapi saya percaya dengan omongan Guido. Para
petualang yang saya temui selama perjalanan dan teman-teman saya yang sering
bepergian merupakan pribadi-pribadi yang menyenangkan berbeda dengan mereka
yang selalu berkutat dengan rutinitas kehidupannya.
Comments
Post a Comment
thank you for reading and feel free to comment :)