Jujur
saja seumur hidup saya belum pernah memberikan diri sendiri hadiah berupa
perjalanan di hari jadi. Berhubung sudah punya kuasa terhadap diri sendiri
terutama urusan finansial, saya memutuskan untuk membuat diri senang pada hari
tersebut.
Rencana awal adalah pergi ke Bali bersama dua orang teman semasa
SMA. Namun, gagal. Masalah utamanya adalah uang dan beberapa waktu terakhir
ternyata teman saya pun tidak bisa pergi. Beralih ke tujuan kedua, Karimun
Jawa. Iya saya cinta matahari dan ingin panasnya matahari kepulauan tersebut
menyengat kulit. Biar perih tapi nikmat (eh,,, apa maksudnya ini?). Setelah
dihitung-hitung, bujet perjalanan bisa sepertiga daripada Bali, tapi masih
terlalu mahal untuk si kantong. Selain itu, saya khawatir jatah cuti akan
termakan banyak untuk perjalanan kali ini.
Mendekati hari jadi, saya mulai kembali menjelajah forum diskusi
CouchSurfing. Voila! ada
satu perjalanan tepat di hari jadi saya dengan bujet yang sangat-sangat ramah,
Rp 370 ribu all in dan hanya dua hari perjalanan. Destinasinya adalah Pulau
Sangiang yang berlokasi satu jam berlayar (asiiiik!) dari Anyer, Banten. Satu
tawaran yang ada dari paket perjalanan itu adalah snorkeling, saya langsung ok
saja walau tidak paham benar soal tempat tujuan tersebut.
Ada 30 orang yang tergabung dalam perjalanan tersebut, hanya dua
orang di antaranya yang saya kenal. Terus terang saya lebih menyukai perjalanan
dengan orang yang tidak terlalu saya kenal, lebih bebas tanpa ketergantungan.
Selain menyukai matahari, saya juga punya ketertarikan tersendiri dengan
manusia, maksudnya personality mereka. Banyak hal yang bisa
diperhatikan dan dimaknai dari mereka. Akan tambah menarik saat melihat mereka
berinteraksi di alam bebas.
Sekitar tengah hari, kapal kayu kami merapat di Pulau Sangiang.
Suguhan pertama dari pulau seluas 100 hektare itu adalah pantai berkoral,
sempit, serta diapit tebing. Saya sudah lupa kalau semalaman belum tidur saat
melihat air laut biru terbentang di depan mata. Kegirangan. Bukan hanya saya,
tetapi mereka-mereka yang sebagian besar waktunya dimakan oleh si kota kejam
Jakarta berlarian (eh,,,ini saya saja yang seperti ini) sepanjang mulut pantai.
Khaled, Ayu, Majd, Mario Oche, Efi, Oshin |
Air laut cukup tenang saat itu, tidak banyak ombak besar yang
masuk ke teluk kami. Di sini, saya bergaul dengan Oshin, Ayu, Majd (Palestina),
dan Khaled (Mesir). Mereka semua anggota CouchSurfing. Keberadaan dua pria arab
berbadan besar itu seharusnya membuat kami para wanita aman, tetapi ternyata
mereka lebih nampak seperti bayi besar dan harus kami jaga agar tidak terjatuh.
Serius saya tidak bohong.
Majd misalnya, setiap dia melewati batu berkarang dengan sendal
jepitnya saya ketar-ketir. "Yah,,,bakal jatuh nih," pikir saya.
Tetapi meskipun tampak labil, keseimbangan tubuhnya cukup melegakan. Majd tidak
jatuh dan terluka. Sedangkan Khaled pada dasarnya sangat bisa diandalkan,
bersedia meminjamkan tangan sebagai penopang kami saat menaiki undakan. Tetapi
tak jarang juga dengan seenak jidat memotong jalur jalan yang diperuntukan satu
orang saja.
Pulau Sangiang sebenarnya memiliki posisi strategis, di
tengah-tengah Selat Sunda, tak mengherankan kalau Jepang pernah menaruh menara
pantaunya di pulau ini sepanjang Perang Dunia II. Katanya, masih ada benteng
peninggalan Jepang di Sangiang, sayangnya kami tak sempat menyusurinya. Gosip
yang beredar ada harta karun di pulau ini, banyak yang coba peruntungan tapi
nihil. Sangiang sendiri telah ditetapkan sebagai suaka alam oleh pemerintah,
tidak heran ada beberapa pos tentara di sana.
Puas bermain di pantai, kami digiring naik ke atas menara pantau
di atas tebing. Jalur pendakian sangat mudah, tangga batu yang bagus disertai
pegangan di kanan kirinya memudahkan langkah kami. Perkiraan saya, tangga
tersebut dibuat oleh pengembang properti yang sempat mencoba peruntungan bisnis
pariwisata sebelum akhirnya krisis moneter 1997 memaksa mereka menggulung
tikar.
Breathtaking! Kata tersebut pas untuk
menggambarkan pemandangan yang terhampar di depan mata serta betapa napas saya
tingal satu satu karena banyaknya anak tangga yang dilewati.
Snorkeling time! semua antusias, tak
terkecuali saya. Tetapi, sempat urung turun karena teman yang sudah menyebur
malah menggelengkan kepala sebagai penilaian pemandangan bawah laut Sangiang.
Arus air yang kencang membuat spot snorkeling di Selayar menjadi keruh, sulit
melihat hamparan koral di bawah sana. Meskipun begitu, saya tetap menyeburkan
diri, sayang sudah jauh tapi tidak basah-basahan. Karena air laut cukup deras,
saya memilih untuk diam dan membiarkan diri terombang-ambing dan sesekali
ditampar ombak.
Minimnya penduduk pulau membuat tanaman tumbuh subur. Nyiur,
melinjo, mangroove, dan pohon-pohon lainnya menghijau. Di beberapa sisi ada
rawa-rawa yang menjadi kerajaan nyamuk. Perperangan manusia melawan nyamuk
menjadi pemandangan seru setiap melewati rawa.
*bersambung
Comments
Post a Comment
thank you for reading and feel free to comment :)