Dari seluruh moda transportasi yang
saya pakai selama perjalanan, pelayanan dari agen di Thailand boleh dikatakan
yang terburuk. Jangan anggap saya berlebihan kalau sudah ngedumel karena kejadian menyebrang Thailand dari Kamboja.
Oke, saya ceritakan. Setelah tujuh jam
perjalanan dari perbatasan ke Bangkok, kami sampai sekitar pukul 2 siang di
sebuah pasar di tengah ibu kota. Saya lupa nama pasar itu, tetapi ramai sekali
pengunjung, eh turis maksud saya. Setelah melambaikan tangan dan saling
melempar harapan semoga kami saling bertemu di kemudian hari di (entah) belahan
bumi lainnya, semua penumpang bubar jalan mencari tujuan masing-masing. Pipit dan
saya hanya punya satu tujuan, mencari agen perjalanan ke Phuket.
Di Phuket seorang host kami sudah
menunggu. Seorang warga negara Amerika Serikat yang sudah menetap
berbulan-bulan di negeri tropis ini. Dia mendikte saya perihal pemilihan
kendaraan umum. Satu hal yang saya ingat dari sarannya adalah “do not take the VIP bus, it doesnt make any
different than others,”.
Saran itu saya bisikan ke Pipit, dia
mengangguk. Akhirnya pilihan kami jatuh pada sebuah paket perjalanan yang tidak
tergolong VIP. Kami membayar 550 baht untuk sampai Phuket, tetapi sebelumnya
kami akan ditransfer di Surat Thani. Kalau yang VIP bayar 750 baht dan tanpa
transfer.
Masih ada waktu kosong 5 jam sebelum
bus kami datang. Kami memutuskan untuk makan siang. Sempat berniat pergi keliling
kota sekadar melihat-lihat. Tetapi, berhubung badan sudah lelah dan paranoid
akan kemacetan kota Bangkok, kami memutuskan untuk berkeliling pasar saja. Barang
bawaan kami titipkan di agen bus.
Pukul tujuh kami dijemput dan
diantarkan ke bus. Saya tercengang, untuk ukuran bukan VIP, bus yang akan
membawa kami tersebut cukup “wah”, double
decker. Interior bus tersebut juga sangat oke, reclining seat baby! Wohooo....
Kenyamanan bus, langsung pudar saat
mengetahui selama dua jam setelah saya duduk ternyata bus hanya berputar-putar
kota Bangkok. Menjemput penumpang dari satu meeting
point ke meeting point
berikutnya. Saking kesalnya, cemilan rumput laut yang biasanya berstatus ‘impor’
di Indonesia dan kini saya beli di negara asalnya berasa hambar.
Sekitar pukul sepuluh kami
diberhentikan di sebuah rumah makan, kondektur bus bilang setelah ini tidak
akan berhenti di manapun, kami akan langsung menuju Surat Thani. Saya dan Pipit
sudah mual, tidak sanggup makan apa-apa lagi. Andaikan ada selembar karton dan
spidol mungkin kami akan membuat poster “WE WANT TO GO NOW!” sambil
teriak-teriak di depan muka si pengemudi. Ah,,, terlalu lelah ditambah tidak
punya keberanian kami memilih diam.
Sambil menempelkan kepala ke kaca,
saya sesekali memandang bulan yang kali itu bulat penuh. Pemutar musik saya
yang entah kenapa tiba-tiba hanya memutarkan lagu santai ditambah temaram
cahaya bulan membuat suasana menjadi romantis.
Pukul lima pagi, kami pun diturunkan
dan diharuskan menukar stiker perjalanan yang ditempelkan pada kami pada
petugas dan diganti dengan stiker lainnya. Beda warna beda tujuan. Di sini saya
baru mengerti, ternyata agen perjalanan ini merupakan gabungan dari banyak
penyedia jasa transportasi. Di dalam organisasi tersebut ada penyedia jasa bus
dan kapal buat mereka yang ingin menuju pulau Phi Phi, Krabi, Koh Samui, dan
lain sebagainya.
Bagi kami yang ingin ke Phuket harus
menunggu dua jam sebelum kami diberangkatkan dengan bus. Jemputan kami datang
pukul tujuh. Kembali sebuah mobil pick up yang datang.
Seorang turis yang masih
menunggu giliran keberangkatan girang “I’ve
never seen anything like this, can I take your picture?”. Laaah,,, dia
enggak ngerti yah kalau ada orang yang sudah senewen gara-gara jemputan ini. Tetapi
saya harus bersikap profesional, senyum manis mengembang sebelum dia menjepret.
Senyuman itu bukan berarti saya senang dengan jemputan ini, tapi sekadar agar
muka saya tidak jelek-jelek amat di foto itu.
Penderitaan belum selesai. Kami tidak
diantarkan ke bus, melainkan sebuah tempat makan yang juga masih berhubungan
dengan agen perjalanan. Di situ kami dipanggil satu per satu ke dalam bilik. Seorang
pasangan Korea baru keluar dari bilik, saya tanya mereka apa yang terjadi di
dalam bilik.
“They
offered us a package to an island,” ujar Andy dan Julie, nama pasangan
tersebut, bersamaan.
Tak lama si agen menghampiri saya. Dengan
mantab saya bilang “I just want to go to
Phuket that’s all!”. Ampuh sodara-sodara, dia ngeloyor pergi. Andy dan
Julie sebenarnya sangat enak diajak ngobrol, dua anak muda yang baru selesai
kuliah di Australia dan berlibur sebelum mereka kembali pulang kampung. Tapi,
sayanya lagi malas basa-basi akibatnya saya kebanyakan diam.
Sekitar pukul delapan kami kembali di
suruh naik mobil pick up. Kali ini mereka menjanjikan kami akan langsung naik
bus. Tapiiiii,,,kami kembali diberhentikan di sebuah toko makan kecil. Ada sebuah
bus di sana, tetapi kami masih harus menunggu sampai 30 menit sebelum bus
benar-benar berangkat.
“Apa salahku ya Tuhaaaaaaaan?” ratap
saya.
nampak perbedaan di antara mereka yang masih semangat dan tidak |
Dari Surat Thani tidak terlalu banyak
penumpang. Saya pikir lumayan juga, karena bus terasa lega. Saran saya, tidak
usah terlalu banyak berharap. Di tengah perjalanan, satu per satu penumpang
dinaikan dan pada akhirnya bus penuh sesak. Tak sedikit juga yang berdiri di
antara kursi. Gilaaaaa! Pendingin ruangan sudah tidak ada artinya, jumlah
penumpang yang berlebihan dikombinasikan teriknya matahari di luar sungguh
menyiksa. Peluh mau tak mau bercucuran. Dan saya merasakan beberapa gram berat
tubuh berkurang akibat sauna dadakan ini.
Mendekati Phuket, bus beberapi kali
berhenti untuk menurunkan penumpang. Selain itu, mereka juga mengizinkan agen
perjalanan lain untuk menjajakan paket wisatanya kepada para penumpang. Such a waste of time!!!
Agen tempat kami membeli tiket bilang,
kalau kami akan sampai di Phuket sekitar pukul 10-11 pagi. Namun, semua itu
dustaaaaa, hanya manis di bibir. Ke dua kaki ini baru menjejakan tanah Phuket
pukul 2 siang.
Sesampai di terminal, saya dan Pipit
langsung berjalan kaki ke apartemen Chris. Sementara Andy dan Julie mencari ‘komplotan’
untuk menyewa taksi yang dapat membawa mereka ke pantai Kata.
Berhasil duduk di bawah kipas angin
berputar di tempat Chris adalah anugerah. Kami menceritakan perjalanan kami.
Chris pun langsung memotong “you didn’t take the goverment bus as I sugested
you?”. Saya geleng-geleng. Chris keukeuh
kalau dia sudah menjelaskan detilnya di pesan yang dia kirimkan.
Berbekal koneksi wifi di kamar Chris,
saya buka laman couchsurfing.org dan masuk ke bagian pesan. Jidat saya perih
karena saya pukul sendiri setelah membaca pesan Chris.
“You can take one from Bangkok southern bus terminal Sai Tai.
You can take bus 517 from the Democracy monument to Sai Tai. The night bus is
12 hours or so... No need to take the VIP as they advertise. The next less
expensive bus is just as good,” saran Chris.
Jadi,
saya salah mengerti. Maksud Chris dengan VIP bus adalah bus yang dikelola
swasta. Menurut dia, bus pemerintah hanya menaikan penumpang di terminal dan
menurunkan mereka di terminal tujuan. Selain itu, mereka pun dipastikan tidak
ada transfer bus sama sekali.
Okeh,,,jadi,
sudah mendapat pelajaran, kan, saudara-saudara?
Comments
Post a Comment
thank you for reading and feel free to comment :)