Keesokan paginya Theresa bergegas ke terminal,
sementara tinggal sisa kami bertiga meluncur ke pasar tradisional. Sepanjang perjalanan,
kami kerap didekati orang dan ditanya “bi
ni?”. Apaan lagi ini? Chris terkekeh.
“You two
look like thai girl that is why they keep asking you in thai. Last night
writers also thought you were, but then she realized that you weren’t when you
went blank.”
Ohhhh,,,,betapa indahnya hidup, saya dianggap
menjadi penduduk lokal. Bahkan orang asli kota
itupun terkecoh, penampakan saya terlalu Thailand meskipun warna saya lebih
gelap dibanding mereka.
Secangkir teh thailand mendampingi roti cane kari
menjadi menu sarapan saya pagi itu. Pemilik dagangan seorang muslim yang ramah
dan sangat senang sekali kalau kami muslim dari Indonesia . “I am a moslem too,”
teriak One (baca: wan) kegirangan. Saya enggak paham kenapa dia bereaksi
seperti itu, tapi saya senang dengan keramahannya. Membuat saya lebih menjadi thai girl hehehehe….
Tujuan saya dan Pipit hari itu adalah
menyambangi pijat asli Thailand .
Chris merekomendasikan satu tempat pijat tradisional di dekat pasar sentral. Dia
menunjukan detil jalan menuju tempat tersebut, saya serahkan urusan pencarian
alamat kepada Pipit karena saya sadar akan kelemahan diri. I can’t read map!
Penunjukan arah Chris terdengar mudah, tetapi
kenyataannya tidak. Serius. Saya bicara seperti ini bukan berdasarkan
ketidakmampuan saya, soalnya Pipit tidak bisa menemukan tempatnya. Pada akhirnya
kami berputar-putar tak tahu arah. Berputar yang saya maksud adalah dalam arti
sebenarnya, kami sempat melalui satu daerah sampai dua kali tetapi dari arah
berlawanan.
salah satu sudut kota tua di Thalang Road |
peralatan tempur mencari tukang pijat |
pecinan dan batik indonesia |
Bukannya kami tidak mau bertanya, tapi sudah
malas sebab kebanyakan dari orang yang kami tanya menunjukan tempat pijat spa. Bukan
itu yang kami cari. Kami ingin yang lebih tradisional, yang saya maksud dengan
tradisional adalah murah sodara-sodara. Kalau di pijat spa saya harus
mengeluarkan 300 baht untuk satu sesi pijat yang berdurasi satu jam.
Satu putaran lagi, pinta Pipit. Kalau kami
tidak berhasil menemukan tempat pijat yang kami inginkan dalam satu putaran
berikutnya, kami memutuskan untuk pulang dan bersiap ke bandara.
Tetapi, apa itu yang ada di sana ? Sebuah papan bertuliskan “Thai Massage
by Blinds”. Wohoooo….heaven. Saya dan
Pipit bergegas. Ternyata di dalam cukup ramai oleh pemijat pria dan wanita yang
semuanya buta serta pengunjung baik penduduk lokal maupun turis macam saya.
Tempat pijat ini memang sempurna. Pijatan yang
diberikan sungguh mantap. Berbeda dengan pijat tradisional Indonesia yang
menggunakan minyak pemijat, pemijat saya tidak memakai apa-apa. Cara mereka
memijat adalah dengan menekuk, menarik, dan menekan setiap sendi dan otot
tubuh.
Seperti apa yang dikatakan Chris, pijat
tradisional ini cukup enak dan murah. Saya hanya membayar 220 baht untuk sesi
1,5 jam pijat. Tidak rugi mengeluarkan uang sebesar itu untuk hasil akhir yang
memuaskan. Serius saya tidak bohong.
sangat direkomendasikan oleh saya |
Lambaian tangan Chris yang mengiringi kepergian
kami seperti sebuah penanda akhir perjalanan kami. Hey,,,tetapi entah mengapa
Phuket tiba-tiba mendung. Hujan pertama setelah berhari-hari matahari berkuasa
justru datang di hari terakhir perjalanan kami.
“It seems
like Phuket doesn’t want us to leave,” seloroh saya.
“Stop crying baby, we will comeback,” bisik saya sesaat sebelum pesawat lepas landas membawa saya
terbang menjauh dataran Phuket.
Waaa... abis melahap empat postingan travelling ke Thailand.
ReplyDeleteJadi mupeng, sista.
Eh ada terselip soal kuda jantan dari Itali qeqeqe #Weewwwww...... :D
nyahahaha...makasih udah mampir macinung :P
DeleteI have to say no to italian, but I CAN NOT! :D