Cuaca Phuket TOwn sangat terik hari itu. Setelah perjalanan
panjang Siem Reap-Bangkok-Phuket, saya merasa senang sampai ke kediaman Chris. Serasa
sampai di rumah. Menjadi lebih nyaman diakrenakan si empunya apartemen
memperlakukan kami seperti teman lama, kami disuruh ambil minum sendiri.
Karena kelelahan, saya dan Fitria hanya
bersendar ke dinding dan kipas-kipas. Menyadari tamunya sangat pemalu sekaligus
kelelahan, Chris menaruh segelas air dingin dan menyuruh kami membersihkan
diri. “You don’t need to entartain me by
talking to me. Have your shower and take a rest, we’ll talk later,” suruh
Chris.
Mandi, memang itu yang saya butuhkan. Tidak butuh
lama bagi saya dan Pipit untuk terlelap setelah mandi. Kami tidur di atas dipan
tak berkasur, sebenarnya kasur itu ada, hanya saja agar tidak terlalu kegerahan
kasur tersebut disandarkan dan dibiarkan tidak terpakai.
Sudah hampir waktu makan malam, saya terbangun.
Chris memperkenalkan saya kepada seorang CS lain, Theresa nama wanita muda usia
20 asal Jerman. Tak lama kami mulai berjalan ke tempat makan kesukaan Chris. Sepanjang
jalan menuju rumah makan, Chris bercerita banyak tentang asal muasal daerah
yang kami lalui. Ia juga bercerita tentang betapa multi-etniknya Phuket. Budha,
kristen, dan islam bergaul bersama, berdampingan.
“Ow mi?”
kata si pelayan kepada kami. Saya celingak-celinguk tidak mengerti. Chris menerjemahkan,
apa yang saya ingin makan. Semua menu di rumah makan tersebut khusus bagi
vegetarian. Di setiap sudut Phuket banyak rumah makan sejenis. Kota ini, merupakan surga bagi vegetarian
doyan makan macam Chris.
Selasai mengudap makan malam, kami berempat
beranjak ke kedai teh yang direkomendasikan Chris. Duduk santai sambil
menyantap kudapan manis yang seperti kue bantal di Indonesia
diselingi pertukaran informasi mengenai Indonesia-Amerika
Serikat-Jerman-Australia (Theresa bekerja di Australia
sebelum keliling SE Asia)-Thailand
menghangatkan malam kami.
Dari seluruh rangkaian perjalanan saya, hanya
di Phuket saya tidak merasa jadi turis. Sebelum saya datang, Chris sudah bilang
kalau tempat tinggalnya jauh dari pusat turistik seperti pantai atau klub
malam. Saya meyakinkan Chris kalau hal tersebut tidak menjadi masalah, karena
saya ingin merasakan menjadi “penduduk lokal”. Maka dari itu, Chris pun
mengajak kami berkeliling-keliling kota
berjalan kaki.
Air muka Chris seperti orang serius dan sedikit
bicara. Tetapi, penilaian awal saya salah. Chris tidak berhenti bicara
sepanjang perjalanan. Ada
saja celoteh yang keluar dari mulutnya. “Look
at that corner! I think it would be great if they open a coffe shop instead of
motor showroom,” cerocos Chris ke sebuah pojokan dari salah satu gedung tua
yang ada di Thalang Road .
Theresa, Chris, saya |
Phuket selalu diasosiasikan dengan pantai dan
thai lady boy tapi tidak satupun dari
atraksi itu yang sempat saya nikmati. Kan ,
sudah saya bilang kalau kami hanya ingin menjadi warga lokal bukan turis. Malam
itu, kami hanya berputar-putar kota
tua dan berjalan menuju terminal menemani Theresa mencari tiket ke pulau Krabi.
Sudah saya bilang kan kalau Chris doyan ngoceh? Sesampainya di
apartemen dia menemani saya duduk di balkon sambil mengamati bintang. Ia bergumam
mengenai kebenciannya terhadap tanah kelahirannya. Politik luar negeri Amerika
Serikat membuat dirinya melarikan diri ke Polandia dan menetap selama empat
tahun sebelum melakukan perjalanan ke India
dan Thailand .
Chris lebih mengganggap dirinya sebagai
pengungsi dari Amerika Serikat ketimbang mengakui kebangsaannya. Dia berencana
untuk tidak kembali ke AS, negara tujuan dia berikutnya adalah Taiwan atau
Brasil. Tetapi, sebelum ke kedua negara itu, dia akan kembali ke Polandia untuk
bekerja, sepeda, dan cinta (cih,,,menggelikan sekali cerita cinta pria ini!)
Comments
Post a Comment
thank you for reading and feel free to comment :)