Di lain hari gw ketemu dengan anak ITB, pangil saja dia Dita, diakuinya bahwa ia sudah mempelajari bermain biola hampir lima tahun lamanya. Namun, ia masih yakin kalau permainan musiknya belum begitu baik. Selama lima tahun ia masuk ke tempat kursus musik. Ia mengenal partitur musik. Ada pernyataan menarik dari mahasiswa ini, permainan Andi dan teman-teman pengamennya yang sering nongkrong di Simpang Dago Bandung cukup baik. Dita menambahkan kalau dia bisa merasakan “semangat” dalam setiap gesekan biola Andi. Ia pun salut kepada anak-anak jalanan yang biasanya tidak menempuh pendidikan musik secara formal, tetapi masih bisa menyampaikan “rasa” dalam sebuah musik.
Kalau melihat gambaran di atas sepertinya mereka yang menempuh pendidikan musik secara formal tidak bisa dikatakan “lebih” dibanding mereka yang belajar otodidak. Peralatan super lengkap, ruangan berpendingin ruangan, dan guru-guru andal nampaknya tidak memberikan nilai tambah untuk mereka yang mempelajari musik secara formal. Dita merasa kebebasan dalam berekspresi lebih bisa dirasakan saat anak-anak jalanan semacam Andi bermain musik. Gw pun jadi berpikir jangan-jangan si Dita dipaksa orang tuanya untuk belajar musik, sehingga ia tidak bisa berekspresi secara maksimal.
Pikiran saya itu dijawab oleh seorang pengajar musik perkusi di RMHR, Adjie namanya, menurutnya baik anak jalanan (Andi) dan anak rumahan (Dita) sebenarnya tidak berbeda. Mereka hanya dibedakan oleh kesempatan. Adjie pun mengakui bahwa yang terpenting dalam bemusik adalah memainkannya dari dalam hati. Semakin musik itu mengalir dalam darah seorang pemusik, semakin indah sebuah musik yang dimainkannya.
“Mereka sudah mampu bermain alat musik, namun belum mampu bermain musik. Sekarang ini saya sedang berusaha membuat mereka bisa bermain musik,” tutur Adjie mengenai targetnya dalam melatih anak asuhannya di RMHR maupun murid privatnya.
Kalau gw boleh sok tahu mengambil kesimpulan (gw gak begitu paham dengan musik), mungkin yang membedakan antara pemusik yang pernah menempuh pendidikan formal (sebuah institusi) dengan mereka yang tidak pernah menjajal pedidikan formal adalah kerapian dalam bermusik (maap sok tau). Anak jalanan mungkin lebih “asal” dalam bermusik, tidak bermaksud merendahkan soalnya Iwan Fals kan juga dari jalanan, mereka lebih bebas bermusik karena tidak apriori terhadap standar musik yang bagus (high class). Toh, mereka (mungkin) tak mengenal orang-orang macam Bach, Mozart, dll.
Sedangkan mereka yang pernah menempuh pendidikan formal akan “terdengar” rapi dalam bermusik karena mereka biasa mendengar pendahulu-pendahulu kita yang handal dalam bermusik. Anak-anak ini mempunyai kualifikasi sendiri mengenai standar bagus atau tidaknya sebuah musik. Tetapi, kalau gw boleh jujur nih, baik mereka yang formal maupun informal memberikan warna yang berbeda dalam musiknya. Pengalaman dan pelajaran hidup yang pernah mereka terima membuat musik yang mereka mainkan akan berbeda rasanya (walapun memainkan jenis musik yang sama). Bagus tidaknya musik yang mereka mainkan tergantung pendengar dan keikhlasan mereka bermusik.
Jadi kalau sudah bisa bermain musik dan telah menyebarkan semangat bermusik dalam setiap sel darahnya, apalah artinya ia pernah menempuh pendidikan formal ataupun belum. Keikhlasan pemusik yang berasal dari hatinya akan lebih mengena bagi pendengarnya.
(tulisan ini lahir karena membaca sebuah diskusi dalam sebuah forum tentang sinergi antara pendidikan formal ataupun tidak dengan kemampuan bermusik)
Comments
Post a Comment
thank you for reading and feel free to comment :)