Skip to main content

Hati Yang Berbicara

Gw pernah ngobrol dengan seorang anak asuh di Rumah Musik Harry Roesli (RMHR), Bandung. Saat ngobrol itu terlontarlah dari mulut anak itu kalau ia belajar bermain gitar sejak umur 7 thn dan mengenal biola saat umurnya menginjak 11 tahun (sebelum menjadi asuhan RMHR). Andaikanlah namanya Andi. Ia mempelajari gitar dan biola secara otodidak dan dengan sedikit bantuan dari orang yang sedikitnya mengerti cara bermain kedua alat musik itu. Dia tidak mengenal partitur musik. Dia ingin bisa bermain musik agar bisa mengamen. Dengan mengamen berarti dia mendapatkan uang. Kalau punya uang dia bisa jajan dan memberikan sebagian penghasilannya untuk ibu di rumah. Intinya anak ini bisa karena biasa dan dia tuntutan hiduplah yang memaksa dirinya untuk bermusik.

Di lain hari gw ketemu dengan anak ITB, pangil saja dia Dita, diakuinya bahwa ia sudah mempelajari bermain biola hampir lima tahun lamanya. Namun, ia masih yakin kalau permainan musiknya belum begitu baik. Selama lima tahun ia masuk ke tempat kursus musik. Ia mengenal partitur musik. Ada pernyataan menarik dari mahasiswa ini, permainan Andi dan teman-teman pengamennya yang sering nongkrong di Simpang Dago Bandung cukup baik. Dita menambahkan kalau dia bisa merasakan “semangat” dalam setiap gesekan biola Andi. Ia pun salut kepada anak-anak jalanan yang biasanya tidak menempuh pendidikan musik secara formal, tetapi masih bisa menyampaikan “rasa” dalam sebuah musik.

Kalau melihat gambaran di atas sepertinya mereka yang menempuh pendidikan musik secara formal tidak bisa dikatakan “lebih” dibanding mereka yang belajar otodidak. Peralatan super lengkap, ruangan berpendingin ruangan, dan guru-guru andal nampaknya tidak memberikan nilai tambah untuk mereka yang mempelajari musik secara formal. Dita merasa kebebasan dalam berekspresi lebih bisa dirasakan saat anak-anak jalanan semacam Andi bermain musik. Gw pun jadi berpikir jangan-jangan si Dita dipaksa orang tuanya untuk belajar musik, sehingga ia tidak bisa berekspresi secara maksimal.

Pikiran saya itu dijawab oleh seorang pengajar musik perkusi di RMHR, Adjie namanya, menurutnya baik anak jalanan (Andi) dan anak rumahan (Dita) sebenarnya tidak berbeda. Mereka hanya dibedakan oleh kesempatan. Adjie pun mengakui bahwa yang terpenting dalam bemusik adalah memainkannya dari dalam hati. Semakin musik itu mengalir dalam darah seorang pemusik, semakin indah sebuah musik yang dimainkannya.

Mereka sudah mampu bermain alat musik, namun belum mampu bermain musik. Sekarang ini saya sedang berusaha membuat mereka bisa bermain musik,” tutur Adjie mengenai targetnya dalam melatih anak asuhannya di RMHR maupun murid privatnya.

Kalau gw boleh sok tahu mengambil kesimpulan (gw gak begitu paham dengan musik), mungkin yang membedakan antara pemusik yang pernah menempuh pendidikan formal (sebuah institusi) dengan mereka yang tidak pernah menjajal pedidikan formal adalah kerapian dalam bermusik (maap sok tau). Anak jalanan mungkin lebih “asal” dalam bermusik, tidak bermaksud merendahkan soalnya Iwan Fals kan juga dari jalanan, mereka lebih bebas bermusik karena tidak apriori terhadap standar musik yang bagus (high class). Toh, mereka (mungkin) tak mengenal orang-orang macam Bach, Mozart, dll.

Sedangkan mereka yang pernah menempuh pendidikan formal akan “terdengar” rapi dalam bermusik karena mereka biasa mendengar pendahulu-pendahulu kita yang handal dalam bermusik. Anak-anak ini mempunyai kualifikasi sendiri mengenai standar bagus atau tidaknya sebuah musik. Tetapi, kalau gw boleh jujur nih, baik mereka yang formal maupun informal memberikan warna yang berbeda dalam musiknya. Pengalaman dan pelajaran hidup yang pernah mereka terima membuat musik yang mereka mainkan akan berbeda rasanya (walapun memainkan jenis musik yang sama). Bagus tidaknya musik yang mereka mainkan tergantung pendengar dan keikhlasan mereka bermusik.

Jadi kalau sudah bisa bermain musik dan telah menyebarkan semangat bermusik dalam setiap sel darahnya, apalah artinya ia pernah menempuh pendidikan formal ataupun belum. Keikhlasan pemusik yang berasal dari hatinya akan lebih mengena bagi pendengarnya.

(tulisan ini lahir karena membaca sebuah diskusi dalam sebuah forum tentang sinergi antara pendidikan formal ataupun tidak dengan kemampuan bermusik)

Comments

Popular posts from this blog

Di Puncak Tangga

Tik..tok..tik..tok... Enggak berasa nih kawan, dah hampir kelar semester tujuh. Semester delapan tinggal beberapa waktu lagi masuk ke dalam kehidupan kita. Dapat dipastikan dengan masuknya semester delapan kita makin sibuk dengan urusan masing-masing. Yang kecil pasti sibuk dengan urusan job tre-nya. Yang cowok pun sepertinya demikian. Yang jilbab gw kurang ngerti neh dia sibuk job tre, kuliah, atau keduanya. Sedangkan jilbab yang lain pasti sibuk dengan organisasinya dan dibantu oleh si pasangan hidupnya. Teman sejawatnya. Sedangkan yang gingsul, rambut panjang, rambut pendek kaca mata, dan gw pasti sibuk dengan kuliah dan job tre. Kalau gw sih ada tambahannya, yaitu bersenang-senang. Hehehe...aku akan menikmati semester besok yang tidak banyak kuliah. Yihaa....setidaknya dengan sedikit kuliah gw bisa mengerjakan sesuatu yang gw dah dari dulu pengen dilakuin. Asik..asik... Tetapi yang jadi masalah gw mesti bersenang-senang sama siapa. Toh, lo semua aja mungkin sibuk dan entah ada di m...

El Orfanato

Category: Movies Genre: Horror you can not forget your childhood. terlebih bila masa kanak-kanak itu dihabiskan teman-teman sebaya. meskipun tidak punya ayah ibu, tetap saja senang bermain dengan teman. itulah yang terjadi pada Laura (Belén Rueda) yang membeli panti asuhan tempat dulu dirinya tinggal sebelum diadopsi. bersama suaminya, Carlos (Fernando Cayo), dan anak adopsi mereka, Simon (Roger Princep), Laura menempati rumah barunya. Ia dan suaminya berniat mengasuh beberapa anak handicap di rumah tersebut (teman-teman panti asuhan Laura dulu handicap juga). namun, masalah muncul saat Simon memiliki teman khayalan. awalnya Laura dan Carlos tidak terusik, tetapi lama kelamaan kelakuan Simon membuat kedua orang tuanya gusar. hingga suatu hari Simon menghilang tanpa jejak. satu hal yang diingat Laura sebelum kehilangan anak semata wayangnya adalah Simon ingin bermain ke rumah Thomas, la casita de Thomas. yang menjadi masalah adalah apakah Thomas nyata atau tidak. semua usaha telah ...

Missed Rupert

OK. recently I am trying not to regret everything that happened in the past. but, for this one thing I want to share, I really really really regret it. well, some months past I kinda had a plan to go to Singapore to meet a friend and also watch the Singapore F1 Night Race (not trully watch it, I just want to be in the country where the race held so I can feel the hype). unfortunately my plan didnt go well, I didnt go to Singapore. I was ok. but, today, I read a blog which made me furious. why? this blog owner met my sexy man, Rupert Grint, in Singapore F1 race. OH MY GOD! Rupert Grint in Singapore, he was just two hours away by plane :(( I WISH I WAS THERE! I WISH I COULD TURN BACK TIME! here it is the lucky girl with Rupe so heres what happened @ Formula 1 Grand Prix Singapore :)) September 24, 2010. i spotted a dude with the same hair as rupert and i was telling my brother and my best friend; aaron “omg that dude has got the same hair as ron weasley! how i wish ron was here! i wou...