Sang perwira telah pergi. Sang Jendral tidak lagi menyunggingkan senyumannya. Tak ada lagi The Smiling General. Semua berduka. Mereka yang mengaku sebagai keluarga, saudara, kerabat, kawan, lawan, dan musuh mengharu biru. Tak menyangka si perwiran gagah perkasa akan meninggalkan negara yang pernah diperintahnya ini.
Mereka yang berbela sungkawa mengirimkan tanda dukanya berupa karangan bunga, sebagai tanda pengganti diri yang belum sempat hadir ke rumah duka. Bunga-bunga yang dirangkai indah itu tidak lupa dibelitkan kalimat “turut berduka cita” diselipkan pula si pengirim karangan bunga tersebut, bisa perorangangan maupun lembaga.
Para pemilik korporat pun tidak mau kalah, mereka mengirimkan ucapan berbela sungkawanya melalui media elektronik televisi (karena saya lebih seiring menonton televisi daripada mendengarkan radio). Mereka mampu membeli durasi. Tak berbeda dengan karangan bungan, dalam iklan di televisi juga disebutkan rasa duka sedalamnya dari si empunya korporat beserta seluruh pekerjanya.
Hampir semua korporat tersebut mengucapkan “turut berduka cita atas meninggalnya H. (Purn) M. Soeharto, mantan presiden ke-2 RI”. Yah, hampir semua ucapan berbela sungkawa bertuliskan demikian. Mengapa ada bagian yang saya cetak tebal? Karena bagian itulah yang menarik perhatian saya.
Bila diperhatikan pada kalimat yang tercetak tebal tersebut terdapat kesalahan. Saya tidak setuju bahwa Soeharto adalah mantan presiden ke-2 RI. Yang saya setujui adalah Soeharto mantan presiden RI. Mengapa demikian? Bila ditelaah lebih lanjut, tidaklah predikat “presiden ke-2” ditambahkan kata mantan didepannya.
Gelar “presiden ke-2” akan tetap menjadi milik Soeharto, walaupun ia telah lengser gelar “presiden ke-2” tidak akan turut lengser dari dirinya. Saat B. J. Habibie ditampuk menjadi pengganti dirinya, Habibie menjadi presiden ke-3 RI. Habibie tidak pernah mengambil gelar presiden ke-2 Soeharto. Begitu juga saat Habibie turun dari jabatannya, Gus Dur menjadi presiden ke-4 dan Habibie tetap yang ke-3.
Kalaupun menginginkan menggunakan kata “mantan”, frase yang tepat adalah “mantan presiden RI” tanpa menambahkan embel-embel “mantan presiden ke-...”. Frase “mantan presiden” lebih bisa digunakan untuk setiap presiden yang sudah lengser dari jabatannya. Mereka yang pernah menjabat menjadi presiden dan kemudian turun jabatan dan digantikan dengan presiden baru, maka presiden lama mendapat gelar mantan presiden. Gelar presiden yang hilang tentunya akan membuat sedih, namun tidak akan berkepanjangan, karena gelar “presiden ke-...” tetap berada di pundak mereka.
Gelar presiden ke-... menjadi sebuah kenangan manis yang akan selalu diingat oleh si pemilik gelar. Sepanjang hidupnya ia akan mengenang bahwa dirinya pernah, dan tetap menjadi presiden ke-.... tidak berbeda dengan Soeharto, walaupun ia sudah meninggal gelar presiden ke-2 RI tetap akan menjadi miliknya. Biarlah di alam sana ia membanggakan gelarnya itu. Janganlah kita yang masih ada di sini tega mencabut gelarnya itu dengan menambahkan kata “mantan”. Apalagi yang akan dibanggakannya di alam sana bila gelar yang didapatkannya dengan perjuangan diambil orang. Janganlah kita setega itu padanya.