Serius deh,,,pertama kali mendengar istilah “meet and greet” yang terbayang di kepala saya itu acara jumpa penggemar artis dengan idola mereka. serius. Sewaktu ada nama Letto yang beriringan dengan kata-kata “meet and greet” saya pun langsung menasosiasikannya dengan pengertian yang saya buat di atas.
Sebenernya saya juga kurang begitu setuju dengan istilah itu. Memangnya siapa sih mereka? Apa yang lebih dari mereka dibanding kita ini? Dengan tidak mengeyampingkan karya musik mereka, tetep saja Patub, Ary, Sabrang, dan Dhedot hanya manusia biasa. Mereka juga memiliki fitrah yang sama seperti manusia indonesia pada umumnya, belum makan kalau nasi belum masuk perut. Iya kan?
Saya akui saya suka banget sama lagu-lagu Letto (gak pernah keluar dari playlist saya). Tapi saya sebel kalo ada temen saya yang bilang saya terlalu addict pada Letto. Haiiiya....enggak segitunya juga. Saya termasuk orang yang inginnya semua orang berada pada posisi yang sama. Prinsip egaliter masih jadi pegangan saya. Manusia itu tidak lebih dari manusia yang lainnya.
Nah, waktu teman-teman Letto bilang ”hilangkanlah istilah penggemar dan idola, kita semua ini teman,” bagaikan dikasih duit Rp 1 juta, saya seneng banget. Seneng akhirnya ada yang satu pemikiran dengan saya. Hal yang membahagiakan adalah ketika kita menemukan teman sepemikiran.
Tetapi satu hal yang bikin saya enggak enak waktu Letto (sorry saya anggep keseluruhan) menganggap kalau istilah penggemar dan idola, yang sudah lama ingin direduksi (istilah Cornel), terlalu digembar-gemborkan oleh wartawan. ”Kita tahulah IQ wartawan tuh rata-rata berapa!” ujarnya.
Bammm....
Sempet shock saya. Oh,,gitu yah...
Saya coba klarifikasi pada orang yang bersangkutan, tapi entah kenapa saya malah mati kutu ga bisa membela diri.
Setelah kejadian itu saya berpikir bukankah Letto dan para ”penggemar”-nya, atau panggil saja Plettonic, berada dalam sebuah komunitas yang bernama ”industri musik”. Mau tidak mau, suka tidak suka, istilah penggemar dan idola itu akan terus dipakai. Terutama bila sudah berskala besar, seantero Indonesia misalnya. Kalau dalam acara ”meet and greet” kemarin, mungkin hampir seluruh dari peserta memahami keinginan Letto, tapi bagaimana cara meyakinkan Plettonic yang tidak ikut? Saya tidak bermaksud pesimis. Saya yakin selalu ada jalan.
Saya sangat paham Letto ingin berbeda dengan pemusik lainnya, mereka tidak ingin terjebak dalam pakaian mereka sebagai idola dan Plettonic sebagai penggemar. Setuju banget dengan pemikiran ini. Toh,,,mereka memang tidak beda dengan para Pletonic.
Terkait dengan acara ”meet and greet” kemarin yang diliput oleh sebuah media yang berjaringan nasional, saya yakin istilah penggemar dan idola itu pasti akan ada dalam laporan sang jurnalis. Toh,,,waktu jurnalis bertanya pada saya dia juga memakai kata-kata itu. Waktu dia bilang kata-kata itu saya langsung berkata dalam hati, ”wah,,,ni jurnalis bakal ga disuka ma Letto. Salah pilih kata dia,” saya tersenyum.
Untuk Letto, saya ingin memberikan alasan mengapa kata penggemar dan idola sebaiknya kalian pakai saja sekarang ini. Walaupun terkadang pakaian itu membuat gerah, gatal, iritasi, dan selalu tidak membuat kalian nyaman. Ambil sisi positifnya saja.
Saya selaku manusia muda merasa saat ini kekurangan tokoh panutan. Mungkin tidak hanya saya teman yang lain pun merasakan demikian. Terkait dengan acara ”meet and greet” yang diselingi penanaman pohon sebagai wujud nyata perhatian terhadap lingkungan, bukankah akan menjadi sebuah contoh yang bagus untuk penggemar Letto.
Biarkanlah para jurnalis itu menuliskan ”Letto sang IDOLA melakukan aksi pohon bersama para PENGGEMARnya sebagai wujud nyata mencintai lingkungan” (maaf saya menuliskannya terlalu berbunga-bunga). Siapa tahu nanti Plettonic lainnya ikut melakukan hal yang sama. Bayangkan kalau setiap Plettonic mau menanam satu pohon, kemudian mereka mengajak teman lainnya. Berapa besar jejaring yang berhasil dibuat.
Menjadi idola merupakan sebuah konsekuensi yang harus Letto emban. Menurut saya pergunakan sebebas-bebasnya gelar tersebut untuk hal-hal menarik seperti menanam pohon atau lainnya. Apalagi bila Letto sudah masuk industri musik dengan label besar, idealisme terkadang harus rela berdampingan atau mungkin sedikit tergeser oleh komersialisme.
Yooo,,,,
SEMANGAT!!!
Comments
Post a Comment
thank you for reading and feel free to comment :)