Skip to main content

Kamboja: Mencari Jawaban


Pipit dan saya harus berlari-lari menuju bus yang hendak tancap gas. Kami terlambat sekitar 4 menit dari jadwal keberangkatan Mekong Bus Express yang akan membawa kami ke Siem Reap, Kamboja. Meski sempat dapat tatapan “kemana aja, Neng?” dari si petugas kami berhasil duduk manis di kursi 6A dan 6B.

Bus berangkat pukul 7 pagi waktu HCMC dan diperkirakan butuh waktu 12 jam perjalanan untuk sampai Siem Reap. Kami membayar 22 USD per orang untuk memakai jasa Mekong Express. Sebenarnya ada yang lebih murah, sekitar 18 USD, tetapi berdasarkan wejangan  dari Peter, pria yang menginap di Long Guesthouse, lebih baik memakai Mekong Express karena lebih terjamin dan mereka cukup membantu saat melewati perbatasan. Apa yang dibilang Peter terbukti, kondektur bus cukup membantu kami saat memasuki perbatasan. Bahkan, dia juga membantu sepasang warga Ukraina mendapatkan visa turis.

Naik Mekong Express itu seperti ikut tur. Bila kami baru memasuki provinsi baru, si kondektur pasti akan memberitahukan nama dan keunikan daerah tersebut. Penjelasannya bilingual, loh, inggris dan bahasa vietnam atau kamboja. Menarik.

Sebenarnya saya dan Pipit inginnya naik bus malam agar dapat menghemat waktu. Bayangkan 12 jam di dalam bus pada saat hari masih terang, sungguh-sungguh buang waktu. Berhubung perbatasan tidak dibuka 24 jam, mau tidak mau kami naik bus pagi. Yah...lumayanlah dapat lihat pemandangan Vietnam dan Kamboja meskipun hanya dari dalam bus.

Perjalanan panjang melintasi perbatasan cukup memberikan waktu bagi saya untuk sedikit beristirahat dan menjalankan hobi yang sudah lama tidak dikerjakan, melamun. Pikiran saya berlarian, mengingat-ingat pengalaman di Vietnam, kangen keluarga di Jakarta, dan ujung-ujungnya berhenti di masalah pekerjaan. Belum akurnya saya dengan urusan kantor menjadi salah satu alasan saya mengambil cuti yang lumayan panjang.

Pernah narasumber saya bilang “kerja untuk hidup bukan hidup untuk kerja. Enjoy your life!” yah, menurut pengamatan saya dia memang pribadi yang sudah akur dengan pekerjaannya. Kalau saya sudah pasti belum sebab pertanyaan “what am I doing? Who am I working for? What is thing all about?” masih sering datang setiap saya melakukan rutinitas pekerjaan. Berbagai cara coba saya lakukan untuk pertanyaan belum terjawab itu, tetapi sampai sekarang masih belum ada jawaban pasti untuk hal itu.

Perjalanan dari HCMC ke Bavet (daerah perbatasan Vietnam dengan Kamboja) memakan waktu sekitar 2-3 jam. Waktu luang yang sangat panjang buat saya meliarkan pikiran. Sesampainya di perbatasan, kondektur bus menggiring kami ke bagian imigrasi. Pagi itu kantor imigrasi cukup ramai oleh turis dan juga penduduk lokal.


“Kamu pergi sendirian,” tanya saya kepada seorang perempuan yang usianya seperti akhir 20-an atau awal 30-an. Dijawabnya pertanyaan saya dengan anggukan, lalu dia menjelaskan kalau dirinya hendak ke Phnom Phen, ibu kota Kamboja. Namanya Marrylyn dan sudah dua tahun hijrah ke Phnom Phenh dari negara asalnya Perancis. 

Dari mulut Marylyn-lah saya dan Pipit dan info menarik tentang Kamboja. Sambil sarapan menjelang makan siang, kami berbagi cerita, tetapi yang lebih banyak diberondong pertanyaan adalah Marylyn. Beruntung Mary adalah teman perjalanan yang informatif, dia bercerita tentang banyak orang Vietnam yang sengaja melancong ke Kamboja demi bermain di kasino-kasino besar yang berada di perbatasan. Bermain di negara tetangga katanya lebih mudah dibanding di negeri sendiri. Saya belum pernah ke lokalisasi perjudian manapun, makanya waktu melihat bangunan besar, yang jumlahnya lebih dari satu, di atas tanah gersang Kamboja saya cukup terperangah.

Mary juga menceritakan mengenai masih bayinya Kamboja. Setelah terlepas dari masa suram di bawah rezim Khmer Merah, Kamboja seperti anak bayi yang baru lahir. Mereka yang berpengalaman dengan Khmer menjadi pribadi yang agak tertutup dengan segala hal baru. Bukan apa-apa, mereka masih trauma. Mereka-mereka yang baru lahir setelah rezim Khmer runtuh pun bisa dikatakan buta untuk politik, atau bisa jadi mereka pura-pura buta. Anak muda Kamboja apatis, menurut Mary.

Sebentar lagi pemilu akan diadakan di Kamboja. Sepanjang jalan saya paling banyak melihat plang bertuliskan Cambodian’s People Party. “Pemilu tidak akan terlalu banyak berpengaruh terhadap penduduk, mereka masih ketakutan, mereka butuh bantuan untuk mengembangkan potensinya,” jelas Mary.





Karena masih “bayi”, banyak negara yang mengulurkan tangannya untuk “mengurus” negara kecil ini untuk mengembangkan potensinya. Mary merupakan salah satu utusan LSM dari negara asalnya. Menurut Mary bukan perkara mudah untuk bisa masuk ke lingkungan yang masih mengalami trauma masa lalu ditambah mereka tidak memakai bahasa yang sama. Benturan terjadi di sana-sini. Misi pertama LSM Mary di Kamboja adalah mengajarkan bahasa inggris untuk sebagian orang yang tujuannya agar beberapa orang ini bisa membantu mereka untuk berkomunikasi dengan penduduk lain. Kesulitan lain yang dihadapi adalah kosakata bahasa khmer sangat sedikit, terkadang terdapat kata yang tidak memiliki padanan kata. Jadi, untuk menjelaskan satu kadang terkadang mereka harus memberikan pengertian dari kata tersebut.

“Marketing adalah bla...bla...bla...bla...bla...bla..bla...bla...” contoh Mary. Meskipun sulit, Mary dan kawan-kawan merasa cukup terbantu karena ternyata kemampuan berbahasa orang khmer cukup baik, daya tangkap mereka juga cukup cepat.

Melelahkan, iya, tetapi Mary mengakui menyukai pekerjaannya. Sambil menaruh satu tangan di dadanya, Mary berujar “meaningfull” untuk mengambarkan pekerjaan yang dilakukannya saat ini. Sebelum memutuskan untuk hijrah ke Phnom Phenh dan bekerja di tempatnya sekarang, Mary memiliki pekerjaan yang cukup menjanjikan. Mau dilihat dari sisi penghasilan, menarik. Belum lagi pekerjaannya di sebuah maskapai penerbangan terkemuka memberikannya kesempatan untuk terbang ke satu daerah ke daerah lain, mulai dari wilayah Eropa sampai Afrika, Amerika Selatan, dan juga Asia.

Bagi sebagian orang, apa yang dimiliki Mary saat itu adalah sebuah impian. Namun, tidak bagi Mary. Setiap selesai bepergian, ia merasa bersalah karena menjadi “turis” di tempat yang dikunjunginya tanpa memberikan manfaat bagi penduduk sekitar.

I am gratefull for the last five years work experience with the airlines. I had so many experiences, I love the work, I love the people, but I wasn’t really happy to be a tourist in every place I’ve visited. I’ve seen the poor the unlucky one but I did nothing. It wasn’t easy to made up my mind and convince my parents about my will to work in NGO and leave all the things that I’ve got. Now, I get less paid, but I have a meaningfull job, and am really really gratefull with that, because I am doing something for others,” ungkap Mary.

Saya terdiam dan diliputi perasaan iri kepada Mary, wanita yang berhasil menenangkan hatinya dengan mengetahui pekerjaan yang tepat untuknya. Butuh waktu lima tahun buat Mary menemukan jalur menuju ketenangan hati, bagaimana dengan saya? Apakah butuh waktu selama itu? Apa yang harus saya lakukan untuk menemukan jalur yang tepat?

Ah,,Mary, pertemuan singkat kita membuat saya bersemangat mencari jalan menuju ketenangan hati. Semoga petunjuk atau mungkin jawaban menuju ke arah sana semakin jelas. 

Comments

Popular posts from this blog

Who Am I?

I am becoming the person I hate the most. How I wish to have a peacefull mind but don,t work. Spend too much time with virtual world drown me into misery.

veinti ocho

Another number to add. This time I kinda relax to face it. No excited feelings, nor ignore the date. It came all natural. Just want to take a moment of silent for meself. Some big steps in life I've already taken before this number came. I am now, living mylife as an expats, a little wish I whispered ages ago. I left family back home, so it let me feel homesick of being around them. The bold note for this time is I am in the country I have longed since years ago, India. One time I told myself to add the number in India. And, here I am. How wonderful life is. Especially when the love one is there next to me. I want a memento, a present for me. I will have it later and keep you updated. Namaste.

Di Puncak Tangga

Tik..tok..tik..tok... Enggak berasa nih kawan, dah hampir kelar semester tujuh. Semester delapan tinggal beberapa waktu lagi masuk ke dalam kehidupan kita. Dapat dipastikan dengan masuknya semester delapan kita makin sibuk dengan urusan masing-masing. Yang kecil pasti sibuk dengan urusan job tre-nya. Yang cowok pun sepertinya demikian. Yang jilbab gw kurang ngerti neh dia sibuk job tre, kuliah, atau keduanya. Sedangkan jilbab yang lain pasti sibuk dengan organisasinya dan dibantu oleh si pasangan hidupnya. Teman sejawatnya. Sedangkan yang gingsul, rambut panjang, rambut pendek kaca mata, dan gw pasti sibuk dengan kuliah dan job tre. Kalau gw sih ada tambahannya, yaitu bersenang-senang. Hehehe...aku akan menikmati semester besok yang tidak banyak kuliah. Yihaa....setidaknya dengan sedikit kuliah gw bisa mengerjakan sesuatu yang gw dah dari dulu pengen dilakuin. Asik..asik... Tetapi yang jadi masalah gw mesti bersenang-senang sama siapa. Toh, lo semua aja mungkin sibuk dan entah ada di m