Celotehan W berhenti seketika. Hening. Tak lama dengan suara kekanakannya dia mengeluhkan banyaknya nyamuk yang berterbangan sekitarnya.
Saya bilang ada beberapa alasan nyamuk senang berada di dekatnya. Pertama, W belum mandi. Bau badannya memikat para penghisap darah selalu berada di sekitarnya.
Kedua, saya suruh W memandang berkeliling kamarnya dan perhatikan tingkat kepadatan dan kebersihannya. Matanya tertuju pada tas ransel yang kerap menemaninya selama dua tahun terakhir. Mereka bikin basecamp di ransel, lapor W.
"Akan lebih berkurang bila ada cicak si predator alami," cerocos W sambil menepukan tangan, membunuh nyamuk.
Saya tersenyum. Saat itu, kamar saya sungguh bebas nyamuk, tetapi sekali saya melangkah keluar kamar nyamuk-nyamuk akan langsung menyerang. Kalau sudah begitu biasanya menyalakan obat nyamuk bakar atau menyemprotkan pembasmi nyamuk.
Wah,,,beda sekali reaksi kami berdua. W lebih berpikir untuk membasmi nyamuk dengan cara yang alami, sementara saya lebih pilih yang instan. Pernah W bilang, tanaman kacang-kacangan yang ada di kebunnya tidak punya gelembung-gelembung du bagian akar.
Bukan tanpa alasan dia menginginkan gelumbung itu ada. Menurut dia, gelembung itu dapat dijadikan pupuk alami. Perkiraan W, gelembung itu hilang karena petani setempat terlalu memakai pupuk kimia secara berlebihan. Tanpa mereka sadari, tindakan tersebut menghilangkan kemampuan alami tanaman itu menyehatkan diri sendiri.
Di tengah serbuan nyamuk di luar kamar saya terdiam, tidak ada lagi suara cicak. Rasanya sudah lama sekali saya tidak mendengar cicak berdecak atau menemukan ekor cicak di sekitar rumah. Mungkin, keluarga saya terlalu cinta pada kimia pembasmi nyamuk dan menggantikan posisi si predator alami itu.
Kapan terakhir kali kamu lihat cicak di dinding rumahmu?