"Tenang saja, Mbak, pasti ada uang lelahnya, kok," ujar si Mbak PR setelah merincikan keinginannya. Saya hanya bisa menolak dengan menggiringnya kepada rekan kerja saya yang lain.
Si Mbak PR secara halus meminta saya untuk membuat sebuah tulisan terkait proyek kliennya. Dia ingin saya menuliskan potensi-potensi ekonomi bila proyek si klien berjalan dengan baik. Saya tolak baik-baik.
Ada beberapa alasan yang saya punya kenapa menolak tawaran si Mbak PR. Jangan pikir salah satu alasannya adalah soal idealisme saya sebagai pewarta yang ogah disuap. Alasan saya sederhana saja, malas membuat sebuah tulisan yang ujung-ujungnya tidak bisa masuk ke halaman kompertemen sendiri.
Alasan lainnya adalah saya tidak terlalu setuju dengan maksud klien si Mbak PR. Intinya bertentangan dengan pemikiran saya selama ini. Tidak saya ungkapkan hal itu kepada si Mbak PR. Menyesal. Seharusnya itu saya lakukan.
Boleh dibilang pekerjaan yang saya lakoni saat ini tidak ada baiknya buat perkembangan mental saya. Gara-gara beberapa hal saya lebih memilih untuk mencari duit, berbeda dengan apa yang diajarkan dosen saat kuliah dulu untuk selalu berpihak pada masyarakat. Sekarang saya cuma cari berita dan menulis sekadarnya. Tiap tanggal 28 selalu mengecek saldo rekening bank tiap menit. Menanti gaji datang, langsung digunakan untuk bersenang-senang. Selepas tanggal 10 tiap bulannya kepala pusing mengatur duit yang menipis.
Bukan sekali dua kali, bukan sebulan dua bulan, melainkan ratusan kali dalam kurun waktu tahunan saya ingin menyudahi hubungan dengan pekerjaan ini. Tidak ada yang saya sayangkan dari kegiatan yang saya lakukan, hanya saja yang saya lakukan tidak berasa pentingnya.
Nilai 'penting' sebuah berita itu sangat penting. Memang itu diutamakan oleh tempat saya bekerja ini, hanya saja kepentingannya entah untuk siapa. Teman pernah berbisik, "beritanya penting untuk 1% orang Indonesia,". Sayang ibu saya tidak termasuk di dalamnya. Apa yang saya tulis tidak artinya buat dia.
Makinlah saya malas.
Terkadang 'penting' pun bisa diatur. Dengan label 'wajib diliput' yang mengikuti sebuah tugas peliputan, maka jadilah penting peristiwa tersebut. Seperti yang terjadi beberapa waktu sebelum tulisan ini dibuat. Surat elektronik harian pengingat agenda yang dikirim orang kantor di salah satunya tertulis "Kuliah Umum Komunitas Baca. Pengisi acara menantu presiden Indonesia. Bos bilang wajib diliput." Bagian digaris bawah saya yang buat, bukan orang kantor.
Selentingan yang beredar, bos saya itu memang 'akrab' dengan bapak presiden. Entah ada ke-PENTING-an apa di antara mereka.
Hanya mau berterima kasih untuk tugas yang tidak menjadi kewajiban saya hari ini. Entah tugas apa yang mungkin saya terima kemudian hari. Satu hal yang pasti, tetap tidak akan ada semangat dari diri saya untuk menjalankannya.
Comments
Post a Comment
thank you for reading and feel free to comment :)